Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia Abad 20
A. Pendahuluan
Abad 20 merupakan masa
peralihan dari masa gelap ke masa yang terang benderang dalam sejarah Indonesia
moderen setelah mengalami masa penjajahan lebih dari 3 abad. Abad ini merupakan
tumbuh berkembangnya, jika tidak dikatakan sebagai kelahiran kembali, Indonesia
sebagai bangsa yang besar di kawasan Asia Tenggara, setelah lebih dari 3 abad
dijajah oleh beberapa bangsa Eropa dan Jepang.
Dampak dari
kolonialisasi bangsa Eropa dan Jepang tentu saja memberikan dampak yang sangat
buruk terhadap laju perkembangan kebudayaan dan peradaban Indonesia modern.
Karena, selain menjajah secara fisik, dengan mempekerjakan secara paksa bangsa
Indoensia untuk kepentingan penjajah, para kolonialis juga merepresi secara
mental bangsa Indonesia, sehingga berdampak dalam penghambatan
perkembangan-perkaembangan aspek yang sudah disebutkan sebelumnya. Termasuk,
tentu saja perkembangan keilmuan-keilmuan islam, salah satunya adalah kajian
tafsir al-Quran sebagai sumber primer dari ajaran Islam.
Dalam perkembangan
tafsir di Indonesia, setidaknya hanya ada satu tafsir yang secara utuh, dalam
artian membahas secara urut ayat-ayat dalam al-Quran sebanyak 30 juz, yakni
tafsir karya Ulama Aceh, Abdurrouf Singkel, dengan karya monumentalnya,Tarjuman
al-Mustafid. Karya ini merupakan karya tafsir utuh yang ada di
Indonesia sampai pada abad 19, sebelum kemudian disusul oleh karya tafsir lain
muncul yang ditulis oleh ulama Banten yang mukim di Mekah, Syekh Nawawi Banten
dengan karya monumentalnya, Tafsir Munir.[1] Meskipun kemudian banyak kalangan
yang menepisTafsir Munir ini sebagai produk tafsir yang khas
Indonesia. Tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan membahas
isu-isu atau permasalahan yang sifatnya umum, bukan menafsirkan ayat-ayat
al-Quran sesuai dengan keadaan yang sedang berkembang di Indonesia pada abad 19
di mana tafsir tersebut ditulis. Tafsir Munir sendiri diakui mengutip beberapa
tafsir yang sudah ada sebelumnya. Sehingga tuduhan bahwa tafsir ini hanya
berupa saduran dari tafsir-tafsir semisal Futiuhat Ilahiyat, Mafatihul
Ghaib, Sirajul Munir, cukup beralasan. Meskipun tentu saja tuduhan ini
sangat lemah jika dilihat bahwa sebuah karya produk ilmiyah tidak bisa lepas
dari produk-produk keilmuan yang sudah ada sebelumnya.
Corak tafsir-tafsir
Indonesia sebelum abad 20 masih didominasi oleh tafsir dengan corak tafsir
sebelumnya. Menggunakan riwayat-riwayat maupun karya tafsir sebelumnya sebagai
bahan penulisan tafsirnya. Penggunaan piranti-piranti tafsir modern belum
menyentuh. Sehingga kurang begitu menjawab permasalahan-permasalahan yang
aktual dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Padahal riwayat-riwayat serta
rujukan tafsir yang dipakai masih didominasi oleh riwayat serta rujukan yang tentu
saja arab-sentris. Maka jika terlalu berlebihan jika dinyatakan bahwa
tafsir-tafsir tersebut tercerabut dari akar permasalahan keIndonesiaan. Padahal
menurut Rosihan Anwar, piranti tafsir sebenarnya merupakan kacamata refleksi
Qurani seorang mufassir dalam merespon persoalan-persoalan aktual yang
dihadapinya serta masyarakatnya. Itulah mengapa tafsir al-quran harus aktual
dan membumi.[2]
Lalu pertanyaan yang
muncul adalah apakah tafsir sesudah abada ke 19, yakni abad ke 20 sudah bisa
menjawab permasalahan-permasalahan kontekstual yang berkembang di masyarakat
Indonesia? Setidaknya mulai keluar dari taqlid total tafsir-tafsir sebelumnya
dan mulai mewarnai corak kazanah tafsir yang khas Indonesia?
b. Perkembangan tafsir di Indonesia sebelum Abad 20
Meskipun banyak pakar
yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia bukanlah Islam periferal, islam
pinggiran yang jauh dari sumber asalnya baik dari sisi jarak maupun dari segi
kemurnian ajarannya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa adanya perbedaan bahasa
dan kebudayaan masyarakat di Indonesia dengan bahasa dan kebudayaan di mana
Islam pertama kali diturunkan mempunyai andil yang signifikan dalam
perkembangan sebuah kajian, dalam hal ini adalah kajian tafsir al-Quran.
Perkembangan kajian al-Quran dapat dilacak dari sejarah perkembangan islam awal
di Indonesia yang lebih kental dengan corak sufisme.[3] Dari sini bisa dilihat bahwa
perkembangan keilmuan Islam lebih belakangan jika dibandingkan dengan
kawasan-kawasan yang lebih dekat dekat pusat perkembangan islam awal. Apalagi
diketahui bahwa keilmuan islam yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah
tasawuf, bukan tafsir.
Hal ini tentu saja
bukan berarti bahwa kajian keislaman seperti tafsir tidak berkembang sebelum
abad 20. Jika diasumsikan bahwa al-Quran adalah sumber primer dari ajaran
islam, maka sudah pasti kajian tentang tafsir al-Quran berkembang juga di masa
awal perkembangan islam di Indonesia. Meskipun tentu saja masih pada tahap yang
sederhana. Seperti misalnya dalam bentuk tafsiran-tafsiran sederhana yang
berkaitan dengan tasawuf, akhlaq dan fiqih. Artinya, semua kajian keislaman
sudah barang tentu merupakan hasil dari kajian para ulama awal Indonesia adalah
penjelasan tentang al-Quran. Meskipun nampaknya metode penafsiran secara ilmiah
belum tertata secara mapan. Hal ini diakibatkan oleh persebaran awal sebuah
ajaran lebih menekankan pada aspek akidah dan amaliyah semata. Artinya hanya
pada tataran bagaimana semangat islam itu dipeluk dan diamalkan oleh
orang-orang islam awal di Indonesia.
Temuan yang sampai
saat ini diakui sebagai embrio dari kitab tafsir yang berkembang di Indonesia
adalah kitab tafsir karya Syekh Abdul Ra’uf as-Singkili,Tarjuman al-Mustafid,
yang yang ditulis pada abad ke 17. Karya ini merupakan karya tafsir pertama
yang ditulis secara utuh dalam bahasa Melayu. Meskipun pada tahun-tahun yang
lebih awal jika dibandingkan dengan Tarjuman al-Mustafid, ditemukan
satu kitab tafsir, namun kitab tersebut tidak memuat secara utuh 30 juz. Kitab
tersebut hanya berisi tafsir surat al-Kahfi saja yang
diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Nurudin as-Sumatrani. Tarjuman
al-Mustafid menurut Hasjimi, sebagaimana dituliskan oleh Azra, ditulis
ketika as-Singkil berada di India. Namun pendapat ini dibantah oleh Azra
sendiri. Menurut Azra pendapat Hasjimi adalah pendapat yang lemah. Pasalnya
tidak ada catatan yang menyatakan as-Singkili pernah menjejakan kaki di India.
Sehingga Dia berpendapat bahwa kitab ini ditulis semasa as-Singkili berada di
Aceh.
Snouck Hurgronje,
sebagaimana dikemukakan oleh Azra, menganggap bahwaTarjuman al-Mustafid hanyalah
terjemahan bahasa Melayu dari karya al-Baydhawi. Sedangkan Rinkes menyatakan
bahwa selain merupakan terjemahan karya al-Baydhawi, kitab Tarjuman
al-Mustafid juga mengandung campuran dari terjemahan Tafsir
Jalalainyang ditulis oleh Jalaludin as-Suyuti dan Jalaludin al-Mahalli, dua
tokoh ulama yang karya tafsirnya menjadi bahan kajian tafsir di banyak
pesantren-pesantren di Indonesia sampai saat ini. Lebih lanjut Azra menambahkan
bahwa sarjana lain, Voorhoeve, menilai bahwa Tarjuman al-Mustafid bersumber
atau merujuk pada kitab-kitab tafsir berbahasa Arab. Riddel dan Harun
berkeyakinan bahwa Tarjuman al-Mustafid hanyalah terjemahan
dari kitab Tafsir Jalalain yang ditambahi beberapa bagian dari
karya al-baydhawi dan Khazin.[4]
Meskipun
anggapan-anggapan di atas, terutama yang dikemukan oleh Hurgronje, yang
menganggap rendah karya as-Singkili ini, namun nampaknya justru karya ini
merupakan karya besar yang memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi umat
Islam di Indonesia. Bahkan jika melihat bahwa kitab ini sudah diterbitkan di
berbagai negara, seperti Singapura, Penang (Malaysia), India, Istanbul (Turki),
Kairo (Mesir), dan Mekah (Arab Saudi) justru menunjukan bahwa karya as-Singkili
ini bukanlah sebuah karya yang sembarangan sebagaimana dituduhkan oleh
Hurgronje. Karya as-Singkili merupakan karya yang diakui oleh mayoritas
komunitas muslim dunia sebagai karya yang adiluhung.
Berkenaan dengan
coraknya yang mengikuti corak penulisan Tafsir Jalalain, hal
ini bisa dipahami bahwa hal ini justru merupakan kebijaksanaan dakwah dari
as-Singkili, mengingat pada saat itu bahasa Melayu lebih mudah dipahami oleh
masyarakat Melayu pada saat itu. Corak ini hanya semata merupakan metode dakwah
yang ditempuh oleh as-Singkili. Selain itu, corak Jalalain yang
cenderung ringkas dan mudah sangat membantu bagi masyarakat melayu untuk
memahami ajaran islam, terutama dalam memahami al-Quran.
Sebagaimana disebutkan
di atas, bahawa Tarjuman al-Mustafid merupkan karya
peninggalan Ulama Nusantara yang sangat berkontribusi dalam transmisi keilmuan
tafsir di Indonesia sebagaimana dituliskan dalam Intelektualisme
Pesantren sebagai berikut:
Nilai signifikansi karya tafsir as-Singkili ini adalah merupakan suatu
petunjuk dalam sejarah keilmuan al-Quran di Melayu, dimana Ia meletakan
dasar-dasar bagi sebuah jembatan antara tarjamah dan tafsir,
dan karenanya mendorong telaah lebih lanjut atas karya-karya tafsir dalam
bahasa Arab. Selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafidmerupakan
satu-satunya terjemahan lengkap al-Quran di Melayu. Baru, dalam tiga puluh
tahun terakhir (abad 20)[5] muncul tafsir-tafsir baru di
wilayah Melayu Nusantara. Dengan demikian, boleh dikatakan, karya as-Singkili ini
memainkan peranan penting dalam memajukan pemahaman lebih baik atas
ajaran-ajaran Islam.[6]
c. Perkembangan tafsir di Indonesia abad 20
Sebagaimana sudah
disebutkan di awal, perkembangan kajian tafsir di Indonesia belum terlalu
berkembang pada masa sebelum abad 20. Bagaimanapun, pada abad selanjutnya,
yakni pada abad 20 perkembangan kajian tafsir berkembang cukup pesat di
Indonesia. Nampkanya hal ini dipengaruhi dengan semakin banyaknya
sarjana-sarjana muslim Indonesia yang melakukan study secara
serius ke timur tengah, terutama al-Azhar, Kairo dan Haramain. Sepulang ke
tanah air mereka mulai membaca masalah-masaah keislaman yang ada di Indonesia,
dan kemudian mulai merumuskan pengkajian al-Quran dalam bentuk tafsir. Meskipun
demikian, corak-corak tafsir yang dihasilkan masih kental dengan pengaruh
tafsir-tafsir timur tengah.
Ada beberapa pakar tafsir
yang berhasil menuliskan kitab tafsir di Indonesia pada masa abad ke 20.
Beberapa di anataranya adalah Buya Hamka dengan tafsir Al-Azharnya, Kyai Bisri
Musthafa dengan tafsir al-Ibriznya serta Mahmud Yunus dengan tafsir An-Nurnya
belakangan, pada akhir abad ke 20 dan awal abad 21 muncul sebuah karya yang
merupakan magnms opus tafsir Indonesia modern yang ditulis
oleh orang indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia, Tafsir
al-Misbah. Federspiel, sebagaimana dikutip oleh Milal, mengatakan
kitab-kitab tafsir yang ada di Indonesia hanya merupakan terjemahan-terjemahan
dari karya-karya tafsir yng sudah ada sebelumnya, seperti Tafsir
Jauhari, Jalalain, Ibnu Katsir, Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir
al-Razi, Tafsir al-Manar, Tafsir at-Thabari, Tafsir Baydhawi, dan Dzilal
fi Tafsir al-Quran.[7]
Meski demikian apa
yang dituduhkan oleh Federspiel tersebut bukanlah suatu masalah yang berarti.
Bagaimanapun ilmu merupakan hal yang tidak tercerabut dari akar sejarah. Ia
merupakan produk sejarah. Suatu ilmu, termasuk tafsir, merupakan kumpulan dari
ide-ide yang sudah mapan pada masa sebelumnya. Ilmu bersifat tracaeable. Jadi
hakikatnya tidak ada ilmu yang baru secaara total. Namun, bahwa tafsir yang ada
di Indonesia lebih didominasi oleh pemikiran-pemikiran tafsir yang sudah ada di
timur tengah, maka pernyataan tersebut memang benar. Namun tidak secara total.
Dan ini bukan berarti tafsir-tafsir di Indonesia hanya mengekor dan tidak
progresif sama sekali. Justru munculnya tafsir-tafsir tersebut, terutama yang
berbahasa Indonesia dan bahasa daerah seperti Tafsir al-Ibriz sangat
membantu muslim Indonesia dalam memahami tafsir al-Quran. Terutama bagi mereka
yang kurang begitu memahami bahasa Arab.
Lebih lanjut bahwa
banyak tuduhan yang mengatakan bahwa beberapa tafsir yang berkembang di
Indonesia merupakan terjemahan dari kitab tafsir yang sudah ada, seperti yang
sudah disebutkan di awal, tidak berarti menafikan bahwa kitab tafsir sepertiTarjuman
al-Mustafid atau kitab An-Nur karya Hasbi As-Shidiqi
yang dituding sebagai bentuk terjemahan dari Tafsir al-maragi bukanlah
produk kitab tafsir. Pasalnya meski terjemahan sekalipun merupakan bentuk
penafsiran tersendiri. Proses penerjemahan adalah sebuah proses penafsiran. Ada
proses pemikiran dan upaya untuk mengalihkan dari satu bahasa ke bahasa yang
lain yang tentu saja membutuhkan ilmu-ilmu tertentu yang sangat mempengaruhi
hasil terjemahan tersebut. Secara singkat bisa dikatakan, terjemahan adalah
hasil penafsiran.
Dalam proses
penerjemehan ada intervensi dan kecenderungan dari seorang penerjemahnya
sendiri.[8] Ada penafsiran dari seorang
penerjemah. Contoh kontemporer yang sederhana adalah penerjemahan kata awliya
(wali) ayat 51 surat al-Maidah. Terjemahan Depag versi tahun 2002
menerjemahkan dengan ‘teman setia’sedangkan versi lebih terdahulu
menerjemahkan dengan ‘Pemimpin’. Dari contoh sederhana ini
dapat dilihat adanya tendensi penafsiran dari penerjemahnya.
Diakui bahwa pola
penulisan tafsir di Indoensia, dalam banyak hal, masih mengikuti pola-pola
penulisan serta gagasan-gagasan yang sudah ada. Namun, Azhari Akmal menyebutkan
bahwa pendapat tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Pasalnya, pada bagian
tertentu, tafsir-tafsir yang ada di Indonesia justru menampakkan kekhasannya sendiri.
Menurutnya, sangat tidak mungkin jika seorang mufassir menafsirkan al-Quran
dengan mengabaikan dimensi-dimensi lokal keindonesiaan.[9]Dorongan yang melatar belakangi seorang
mufassir untuk menafsirkan sebuah ayat bahkan al-Quran secara menyeluruh 30 juz
adalah untuk merespon dimensi-dimensi kehidupan pada saat itu. Artinya,
nampaknya sedikit mustahil jika tafsir al-Quran Indonesia, lalu mengadopsi
secara penuh kitab-kitab tafsir Timur Tengah.
Lebih lanjut Akmal
memberikan contoh kasus yang disodorkan oleh tafsir-tafsir Indonesia seperti
dalam kasus riba yang dijelaskan Hamka dalam tafsirnya. Hamka
berpendapat bahwa bunga bank, baik dalam bentuk simpanan maupun pinjaman adalah
haram. Pandangan ini yang mendorongnya untuk menegaskan bahwa umat islam harus
menerapkan konsep ekonomi Islam. Selain itu Hamka juga memperbolehkan makanan
dari hewan yang disembelih bukan oleh orang Islam. Mufasir lain seperti Hasbi
As-Shidiqi juga mempunyai pandangan-pandangan sendiri yang berbeda dengan
pandanganjumhur. Misalnya, Hasbi berpendapat bahwa berjabat tangan
antara laki-laki dan perempuan adalah diperbolehkan.[10] Dimensi-dimensi sosial yang sedang
bergejolak dan butuh respon dari tokoh agama yang dalam hal ini adalah mufassir tentu
saja menjadi perhatian para mufassir tersebut.
Beberapa tafsir yang
dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang ada di Indonesia antara lain:[11]
No
|
Judul
|
Penulis
|
Bahasa
|
Tahun
|
1
|
Tarjuman Mustafid
|
Abdul Rauf Singkel
|
Melayu
|
Abad 17
|
2
|
Tafsir Bahasa Jawa
|
M. Saleh Darat
|
Jawa
|
Abad 19
|
3
|
Al-Ibriz
|
K.H. Bisri Mustafa
|
Jawa
|
1960
|
4
|
Al-Quran Suci Basa Jawa
|
Prof. Dr. M. Adnan
|
Jawa
|
1969
|
5
|
Tafsir al-Quran Karim
|
Mahmud Yunus dan Kasim Bakri
|
Indonesia
|
1936
|
6
|
Tafsir an-Nur
|
Hasbi as-Shidiqi
|
Indonesia
|
1964
|
7
|
Tafsir al-Azhar
|
Hamka
|
Indonesia
|
1968
|
8
|
Al-Quranul Karim: Bacaan Mulia
|
B.J. Yasin
|
Indonesia
|
1977
|
9
|
Tafsir al-Misbah
|
M. Qurash Shihab
|
Indonesia
|
2000
|
Menurut Ahmad
at-Tabik, dengan menukil pendapat Federspiel, mengatakan bahwa setidaknya ada
beberapa corak tafsir di Indonesia. Pertama, tafsir yang hanya
mengalihbahasakan dari bahasa Arab ke Bahasa Indonesia. Sebagaimana sudah
disebutkan di atas, meskipun hanya terjemahan, pengalihbahasaan ini merupakan
tafsir. Kedua, tafsir dalam bentuk terjemahan, namun pada bagian tertentu
mencantumkan keterangan-keterangan lebih detil. Biasanya pada kata-kata yang
sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Atau, bisa juga pada ayat
yang memerlukan penjelasan dikarenakan secara harfiah sulit untuk dipahami
serta kadang juga pada ayat yag mengandung makna ganda. Ketiga, tafsir-tafsir
yang sudah menggunakan metode-metode kontemporer. Hamka dan Hasbi masuk dalam kategori
ini. Bentuk yang ketiga ini menyajikan banyak hal yang tidak ditemukan di
kategori pertama dan kedua, seperti adanya pengantar tentang ulumul
Quran, sejarah turunnya dan aspek-aspek lain yang mempengaruhi
penafsiran al-Quran.[12]
d. Tafsir Kontekstual di Indonesia
Gagasan tafsir
kontekstual sebenarnya bukan hal baru dalam kazanah tafsir Quran di kalangan
Islam. Hal ini sudah menjadi polemik di awal perkembangan islam. Meskipun tentu
saja belum tertulis dalam sebuah korpus tafsir. Namun nampaknya wacana ini
tersendat ketika muncul ketakutan-ketakutan bahwa menafsirkan al-Quran dengan
mengandalkan ra’yu, yang mana tafir kontekstual masuk ke dalam
ranah ini, mendapat anacaman keras oleh Rasul sebagaimana
dituliskan dalam sebuah hadits. Hal ini nampaknya menyebabkan keengganan bagi
para mufasir untuk menggunakan tafsir bil ra’yu, dan cenderung
untuk menggunakan tafsir bil ma;tsur.
Corak penafsiran
dengan pola seperti ini pada beberapa kasus menjadi hambatan bagi umat Islam
sendiri. Bahkan dalam berbagai hal menimbulkan kejumudan wacan Islam modern.
Pendekatan kontekstual dalam usaha menafsirkan al-Quran bukan hanya masalah
yang timbul di permukaan teoritis. Pendekatan ini sudah masuk pada tataran
praktis yang sangat mendesak untuk dilaksanakan. Usaha untuk mengimbangi peristiwa-peristiwa
serta kasus-kasus yang sama sekali tidak ada padanan riwayat yang menjadi
preseden pengambilan solusi dari al-Quran secara jelas.
Menurut Rosihan Anwar,
pendekatan kontekstual ini sudah diperkenalkan oleh Fazlur Rahman berkaitan
dengan penafsiran al-Quran.[13] Pandangannya ini kemudian
dianggap penting oleh para cendekiawan Muslim di berbagai belahan dunia Islam,
termasuk Indonesia. Pandangan ini sebagaimana sudah diungkapkan di awal,
bukanlah pandangan yang tidak punta preseden dalam sejarah, ia sudah muncul di
awal kemunculan Islam.
Al-Quran diturunkan
kepada umat Islam secara bertahap dan merespon persoalan-persoalan umat Islam
pada saat itu. Artinya, al-Quran bukanlah kitab suci yang di turunkan di ruang
hampa soasial-historis. Kemunculannya secara kontekstual merupakan jawaban atas
permasalahan-peermasalahan masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga sangatlah
mustahil jika penafsiran al-Quran tidak dikontekstualkan dengan masalah yang
dihadapi umat Islam pada pada saat ini maupun pada masa mendatang.
Tafsir-tafsir serta riwayat-riwayat yang sudah ada dan tertulis dalam banyak
literatur tentu saja bukan berarti tidak diperlukan lagi. Akan tetapi rujukan-rujukan
itu dijadikan sebagai landasan serca acuan dalam mencarai format penafsiran
kontekstual yang sedang dihadapi. Penafsiran kontekstual ini sangat berkembang
di Indonesia mulai dari abad ke 20 sampai sekarang abad 21.
Kenyataan ini yang
kemudian mendorong para cendekiawan muslim untuk menggali tafsir kontekstual
dalam beberapa kasus aktual yang terjadi. Dalam kasus aktual misalnya bagaimana
hukum waris diperuntukan bagi wanita yang hanya memperoleh setengah dari bagian
laki-laki, dicarikan alternatif tafsir yang sesuai dengan realitas sosial
keindonesiaan. Badriyah Fayumi misalnya memberikan alternatif penafsiran dengan
menyarankan untuk membagi rata antara laki-laki dan perempuan.[14] Alternatif ini tentu saja didasari
bahwa dalam konteks Indonesia, penanggung nafkah keluarga dalam prakteknya
tidak hanya lakai-laki, perempuan juga ikut andil dalam menopang nafkah
keluarga. Bahkan dalam berbagai kasus, perempuan justru malah dominan sebagai
penyandang nafkah keluarga dibandingkan suaminya.
Upaya-upaya untuk
memunculkan tafsir kontektual yang sesuai dengan corak keindonesiaan selain
yang sudah ditawarkan oleh Badriyah Fayumi di atas tentu saja masih banyak
lagi. Seperti pandangan Masdar Farid ketika memandang bahwa konsep waktu
pelaksanaan haji perlu ditimbang kembali. Dia berpendapat bahwa waktu
pelaksanaan haji tidak hanya terpatok pada lima hari saja (9-13 Dzulhijah) akan
tetapi juga sepanjang tiga bulan, yakni Syawal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijah.
Pandangan Masdar ini dilatar belakangi oleh masyaqoh atau
kendala berat yang dihadapi oleh para jemaah haji jika hanya disediakan waktu
selama lima hari.[15] Adanya jemaah haji yang berdesakan
kemudian mati terinjak serta tidak kuat berdesakan menjadi landasan dari
pemikiran masdar ini ketika menafsirkan ayat al-Baqoroh ayat 195. Dengan
pertimbangan tersebut serta merujuk pada literatur-literatur klasik yang
menjadi rujukan Masdar maka dia memberikan alternatif penafsiran kontekstual
demikian.
e. Kesimpulan
e. Kesimpulan
Perkembangan tafsir di
Indonesia pada abad ke 20 mulai menemukan titik terang untuk menuju pada corak
tafsir modern yang berkembang secara pesat di abad 21. Meski demikian corak
tafsir klasik yang berkembang di abad-abad sebelumnya sangat memberikan
kontribusi positif dalam perkembangan tafsir di Indonersia. Bahkan, sampai saat
ini kitab-kitab tafsir yang disebutkan di awal, yang masih menggunakan corak
tafsir yang digolongkan ke dalam tafsir klasik yang jika di sandingkan dengan
keadaan Indonesia banyak yang tidak kontekstual, masih dipelajari dan dijadikan
sebagai kitab dasar dan primer dalam kajian-kajian tafsir di Indonesia. Justru
dari kitab-kitab tafsir itulah para pemikir Islam Indonesia pada akhirnya bisa
memformulasikan pemikiran tafsir yang kontekstual yang sesuai dengan semangat
zaman dan sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Dengan cara ini nampaknya
optimisme perkembangan tafsir Indonesia patut disyukuri dan dijaga agar Mufasir-mufasir besar
pasca Abdurauf Singkel, Imam Nawawi, Hamka, Quraish Shihab serta
mufasir-mufasir besar dari Indonesia bisa muncul kembali serta memberikan corak
yang khas Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam kazanah tafsir al-Quran
bagi dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
At-Tabik, Ahmad. Perkembangan
Tafsir Modern di Indonesia . STAIN Kudus: Hermeunetik Vol.8. 2014
Akmal, Azhari. Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di Indonesia dan
Peluang Pengembangannya. Jurnal Jurisprudensi: STAIN Zawiyah. Vol. 06.
2014
Mukhtar Adam. Ulumul Quran.Makrifat
Media Utama: Bandung.
Azra, Zumardi, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18. Kencana: Jakarta.
Budhy Munawar Rachman. Ensyclopedi
Nurcholis Majid (Edisi Digital). Jilid-4. Yayasan Amal Hayati.2012.
Islib.com
Milal, Zainul, Sanad and Ulama
Network of The Quranic Studies in Nusantara, Heritage Nusantara Vol 4,
2014,
Mastuki HS., M.Ag dan M. Ishom El-Saha,
M.Ag. Intelektualisme Pesantren. Jilid-1. 2003
Rosihan Anwar. 2009. Pengantar
Ilmu al-Quran. Pustaka Setia: Bandung. Hal.274
[3] Milal, Zainul, Sanad and Ulama Network of The Quranic Studies in Nusantara, Heritage Nusantara Vol 4, 2014, hal.24
[4] Azra, Zumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18.Kenca: Jakarta. Hal 256-258. Selain itu, keterangan tentang informasi ini bisa juga dilihat di Intelektualisme Pesantren yang disunting oleh
Mastuki HS., M.Ag dan M. Ishom El-Saha, M.Ag. Jilid-1. Hal. 92
[5] Masa tiga puuh terakhir ini nampaknya dilihat dari masa terbitnya buku,
tahun 2003, padahal jauh lebih dari setengah abad sudah ada beberapa tafsir
yang menafsirkan secara penuh 30 juz, diantaranya adalah Mahmud Yunus dan Hamka
serta Kyai Bisri Mustofa.
[7] Milal, Zainul, Sanad and Ulama Network of The Quranic
Studies in Nusantara, Heritage Nusantara Vol 4, 2014, hal.25
[8] Budhy Munawar Rachman. Ensyclopedi Nurcholis Majid (Edisi
Digital). Jilid-4. Yayasan Amal Hayati.2012. Hal. 3206-3208
[9] Akmal, Azhari. Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di
Indonesia dan Peluang Pengembangannya.Jurnal Jurisprudensi: STAIN Zawiyah.
Vol. 06. 2014. Hal. 100
Mukhtar Adam menuliskan ada sebanyak 29 tafsir. Di sini hanya dituliskan
beberapa saja sebagai contoh.
[12] Ahmad At-Tabik. Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia . STAIN Kudus: Hermeunetik Vol.8. Hal 320-323
[15] Wawancara Ulil Absar Abdala dengan Masdar Farid Masudi yang diterbitkan di
Islib.com yang diposting pada 19 Januari 2011
http://www.doamadtastier.com/2017/03/perkembangan-tafsir-al-quran-di.html
dikutip dikutip hari jum’at tgl 26/05/2017 wktu 22.10 WIB.
www.stainkudus.ac.id
www.stainkudus.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar