Jumat, 26 Mei 2017

Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia Abad 20


Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia Abad 20


A. Pendahuluan
Abad 20 merupakan masa peralihan dari masa gelap ke masa yang terang benderang dalam sejarah Indonesia moderen setelah mengalami masa penjajahan lebih dari 3 abad. Abad ini merupakan tumbuh berkembangnya, jika tidak dikatakan sebagai kelahiran kembali, Indonesia sebagai bangsa yang besar di kawasan Asia Tenggara, setelah lebih dari 3 abad dijajah oleh beberapa bangsa Eropa dan Jepang.
Dampak dari kolonialisasi bangsa Eropa dan Jepang tentu saja memberikan dampak yang sangat buruk terhadap laju perkembangan kebudayaan dan peradaban Indonesia modern. Karena, selain menjajah secara fisik, dengan mempekerjakan secara paksa bangsa Indoensia untuk kepentingan penjajah, para kolonialis juga merepresi secara mental bangsa Indonesia, sehingga berdampak dalam penghambatan perkembangan-perkaembangan aspek yang sudah disebutkan sebelumnya. Termasuk, tentu saja perkembangan keilmuan-keilmuan islam, salah satunya adalah kajian tafsir al-Quran sebagai sumber primer dari ajaran Islam.
Dalam perkembangan tafsir di Indonesia, setidaknya hanya ada satu tafsir yang secara utuh, dalam artian membahas secara urut ayat-ayat dalam al-Quran sebanyak 30 juz, yakni tafsir karya Ulama Aceh, Abdurrouf Singkel, dengan karya monumentalnya,Tarjuman al-Mustafid. Karya ini merupakan karya tafsir utuh yang ada di Indonesia sampai pada abad 19, sebelum kemudian disusul oleh karya tafsir lain muncul yang ditulis oleh ulama Banten yang mukim di Mekah, Syekh Nawawi Banten dengan karya monumentalnya, Tafsir Munir.[1] Meskipun kemudian banyak kalangan yang menepisTafsir Munir ini sebagai produk tafsir yang khas Indonesia. Tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan membahas isu-isu atau permasalahan yang sifatnya umum, bukan menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan keadaan yang sedang berkembang di Indonesia pada abad 19 di mana tafsir tersebut ditulis. Tafsir Munir sendiri diakui mengutip beberapa tafsir yang sudah ada sebelumnya. Sehingga tuduhan bahwa tafsir ini hanya berupa saduran dari tafsir-tafsir semisal Futiuhat Ilahiyat, Mafatihul Ghaib, Sirajul Munir, cukup beralasan. Meskipun tentu saja tuduhan ini sangat lemah jika dilihat bahwa sebuah karya produk ilmiyah tidak bisa lepas dari produk-produk keilmuan yang sudah ada sebelumnya.
Corak tafsir-tafsir Indonesia sebelum abad 20 masih didominasi oleh tafsir dengan corak tafsir sebelumnya. Menggunakan riwayat-riwayat maupun karya tafsir sebelumnya sebagai bahan penulisan tafsirnya. Penggunaan piranti-piranti tafsir modern belum menyentuh. Sehingga kurang begitu menjawab permasalahan-permasalahan yang aktual dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Padahal riwayat-riwayat serta rujukan tafsir yang dipakai masih didominasi oleh riwayat serta rujukan yang tentu saja arab-sentris. Maka jika terlalu berlebihan jika dinyatakan bahwa tafsir-tafsir tersebut tercerabut dari akar permasalahan keIndonesiaan. Padahal menurut Rosihan Anwar, piranti tafsir sebenarnya merupakan kacamata refleksi Qurani seorang mufassir dalam merespon persoalan-persoalan aktual yang dihadapinya serta masyarakatnya. Itulah mengapa tafsir al-quran harus aktual dan membumi.[2]
Lalu pertanyaan yang muncul adalah apakah tafsir sesudah abada ke 19, yakni abad ke 20 sudah bisa menjawab permasalahan-permasalahan kontekstual yang berkembang di masyarakat Indonesia? Setidaknya mulai keluar dari taqlid total tafsir-tafsir sebelumnya dan mulai mewarnai corak kazanah tafsir yang khas Indonesia?

b.      Perkembangan tafsir di Indonesia sebelum Abad 20
Meskipun banyak pakar yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia bukanlah Islam periferal, islam pinggiran yang jauh dari sumber asalnya baik dari sisi jarak maupun dari segi kemurnian ajarannya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa adanya perbedaan bahasa dan kebudayaan masyarakat di Indonesia dengan bahasa dan kebudayaan di mana Islam pertama kali diturunkan mempunyai andil yang signifikan dalam perkembangan sebuah kajian, dalam hal ini adalah kajian tafsir al-Quran. Perkembangan kajian al-Quran dapat dilacak dari sejarah perkembangan islam awal di Indonesia yang lebih kental dengan corak sufisme.[3] Dari sini bisa dilihat bahwa perkembangan keilmuan Islam lebih belakangan jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan yang lebih dekat dekat pusat perkembangan islam awal. Apalagi diketahui bahwa keilmuan islam yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah tasawuf, bukan tafsir.
Hal ini tentu saja bukan berarti bahwa kajian keislaman seperti tafsir tidak berkembang sebelum abad 20. Jika diasumsikan bahwa al-Quran adalah sumber primer dari ajaran islam, maka sudah pasti kajian tentang tafsir al-Quran berkembang juga di masa awal perkembangan islam di Indonesia. Meskipun tentu saja masih pada tahap yang sederhana. Seperti misalnya dalam bentuk tafsiran-tafsiran sederhana yang berkaitan dengan tasawuf, akhlaq dan fiqih. Artinya, semua kajian keislaman sudah barang tentu merupakan hasil dari kajian para ulama awal Indonesia adalah penjelasan tentang al-Quran. Meskipun nampaknya metode penafsiran secara ilmiah belum tertata secara mapan. Hal ini diakibatkan oleh persebaran awal sebuah ajaran lebih menekankan pada aspek akidah dan amaliyah semata. Artinya hanya pada tataran bagaimana semangat islam itu dipeluk dan diamalkan oleh orang-orang islam awal di Indonesia.
Temuan yang sampai saat ini diakui sebagai embrio dari kitab tafsir yang berkembang di Indonesia adalah kitab tafsir karya Syekh Abdul Ra’uf as-Singkili,Tarjuman al-Mustafid, yang yang ditulis pada abad ke 17. Karya ini merupakan karya tafsir pertama yang ditulis secara utuh dalam bahasa Melayu. Meskipun pada tahun-tahun yang lebih awal jika dibandingkan dengan Tarjuman al-Mustafid, ditemukan satu kitab tafsir, namun kitab tersebut tidak memuat secara utuh 30 juz. Kitab tersebut hanya berisi tafsir surat al-Kahfi saja yang diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Nurudin as-Sumatrani. Tarjuman al-Mustafid menurut Hasjimi, sebagaimana dituliskan oleh Azra, ditulis ketika as-Singkil berada di India. Namun pendapat ini dibantah oleh Azra sendiri. Menurut Azra pendapat Hasjimi adalah pendapat yang lemah. Pasalnya tidak ada catatan yang menyatakan as-Singkili pernah menjejakan kaki di India. Sehingga Dia berpendapat bahwa kitab ini ditulis semasa as-Singkili berada di Aceh.
Snouck Hurgronje, sebagaimana dikemukakan oleh Azra, menganggap bahwaTarjuman al-Mustafid hanyalah terjemahan bahasa Melayu dari karya al-Baydhawi. Sedangkan Rinkes menyatakan bahwa selain merupakan terjemahan karya al-Baydhawi, kitab Tarjuman al-Mustafid juga mengandung campuran dari terjemahan Tafsir Jalalainyang ditulis oleh Jalaludin as-Suyuti dan Jalaludin al-Mahalli, dua tokoh ulama yang karya tafsirnya menjadi bahan kajian tafsir di banyak pesantren-pesantren di Indonesia sampai saat ini. Lebih lanjut Azra menambahkan bahwa sarjana lain, Voorhoeve, menilai bahwa Tarjuman al-Mustafid bersumber atau merujuk pada kitab-kitab tafsir berbahasa Arab. Riddel dan Harun berkeyakinan bahwa Tarjuman al-Mustafid hanyalah terjemahan dari kitab Tafsir Jalalain yang ditambahi beberapa bagian dari karya al-baydhawi dan Khazin.[4]
Meskipun anggapan-anggapan di atas, terutama yang dikemukan oleh Hurgronje, yang menganggap rendah karya as-Singkili ini, namun nampaknya justru karya ini merupakan karya besar yang memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi umat Islam di Indonesia. Bahkan jika melihat bahwa kitab ini sudah diterbitkan di berbagai negara, seperti Singapura, Penang (Malaysia), India, Istanbul (Turki), Kairo (Mesir), dan Mekah (Arab Saudi) justru menunjukan bahwa karya as-Singkili ini bukanlah sebuah karya yang sembarangan sebagaimana dituduhkan oleh Hurgronje. Karya as-Singkili merupakan karya yang diakui oleh mayoritas komunitas muslim dunia sebagai karya yang adiluhung.
Berkenaan dengan coraknya yang mengikuti corak penulisan Tafsir Jalalain, hal ini bisa dipahami bahwa hal ini justru merupakan kebijaksanaan dakwah dari as-Singkili, mengingat pada saat itu bahasa Melayu lebih mudah dipahami oleh masyarakat Melayu pada saat itu. Corak ini hanya semata merupakan metode dakwah yang ditempuh oleh as-Singkili. Selain itu, corak Jalalain yang cenderung ringkas dan mudah sangat membantu bagi masyarakat melayu untuk memahami ajaran islam, terutama dalam memahami al-Quran.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahawa Tarjuman al-Mustafid merupkan karya peninggalan Ulama Nusantara yang sangat berkontribusi dalam transmisi keilmuan tafsir di Indonesia sebagaimana dituliskan dalam Intelektualisme Pesantren sebagai berikut:
Nilai signifikansi karya tafsir as-Singkili ini adalah merupakan suatu petunjuk dalam sejarah keilmuan al-Quran di Melayu, dimana Ia meletakan dasar-dasar bagi sebuah jembatan antara tarjamah dan tafsir, dan karenanya mendorong telaah lebih lanjut atas karya-karya tafsir dalam bahasa Arab. Selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafidmerupakan satu-satunya terjemahan lengkap al-Quran di Melayu. Baru, dalam tiga puluh tahun terakhir (abad 20)[5] muncul tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu Nusantara. Dengan demikian, boleh dikatakan, karya as-Singkili  ini memainkan peranan penting dalam memajukan pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam.[6]
c.       Perkembangan tafsir di Indonesia abad 20
Sebagaimana sudah disebutkan di awal, perkembangan kajian tafsir di Indonesia belum terlalu berkembang pada masa sebelum abad 20. Bagaimanapun, pada abad selanjutnya, yakni pada abad 20 perkembangan kajian tafsir berkembang cukup pesat di Indonesia. Nampkanya hal ini dipengaruhi dengan semakin banyaknya sarjana-sarjana muslim Indonesia yang melakukan study secara serius ke timur tengah, terutama al-Azhar, Kairo dan Haramain. Sepulang ke tanah air mereka mulai membaca masalah-masaah keislaman yang ada di Indonesia, dan kemudian mulai merumuskan pengkajian al-Quran dalam bentuk tafsir. Meskipun demikian, corak-corak tafsir yang dihasilkan masih kental dengan pengaruh tafsir-tafsir timur tengah.
Ada beberapa pakar tafsir yang berhasil menuliskan kitab tafsir di Indonesia pada masa abad ke 20. Beberapa di anataranya adalah Buya Hamka dengan tafsir Al-Azharnya, Kyai Bisri Musthafa dengan tafsir al-Ibriznya serta Mahmud Yunus dengan tafsir An-Nurnya belakangan, pada akhir abad ke 20 dan awal abad 21 muncul sebuah karya yang merupakan magnms opus tafsir Indonesia modern yang ditulis oleh orang indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia, Tafsir al-Misbah. Federspiel, sebagaimana dikutip oleh Milal, mengatakan kitab-kitab tafsir yang ada di Indonesia hanya merupakan terjemahan-terjemahan dari karya-karya tafsir yng sudah ada sebelumnya, seperti Tafsir Jauhari, Jalalain, Ibnu Katsir, Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir al-Razi, Tafsir al-Manar, Tafsir at-Thabari, Tafsir Baydhawi, dan Dzilal fi Tafsir al-Quran.[7]
Meski demikian apa yang dituduhkan oleh Federspiel tersebut bukanlah suatu masalah yang berarti. Bagaimanapun ilmu merupakan hal yang tidak tercerabut dari akar sejarah. Ia merupakan produk sejarah. Suatu ilmu, termasuk tafsir, merupakan kumpulan dari ide-ide yang sudah mapan pada masa sebelumnya. Ilmu bersifat tracaeable. Jadi hakikatnya tidak ada ilmu yang baru secaara total. Namun, bahwa tafsir yang ada di Indonesia lebih didominasi oleh pemikiran-pemikiran tafsir yang sudah ada di timur tengah, maka pernyataan tersebut memang benar. Namun tidak secara total. Dan ini bukan berarti tafsir-tafsir di Indonesia hanya mengekor dan tidak progresif sama sekali. Justru munculnya tafsir-tafsir tersebut, terutama yang berbahasa Indonesia dan bahasa daerah seperti Tafsir al-Ibriz sangat membantu muslim Indonesia dalam memahami tafsir al-Quran. Terutama bagi mereka yang kurang begitu memahami bahasa Arab.
Lebih lanjut bahwa banyak tuduhan yang mengatakan bahwa beberapa tafsir yang berkembang di Indonesia merupakan terjemahan dari kitab tafsir yang sudah ada, seperti yang sudah disebutkan di awal, tidak berarti menafikan bahwa kitab tafsir sepertiTarjuman al-Mustafid atau kitab An-Nur karya Hasbi As-Shidiqi yang dituding sebagai bentuk terjemahan dari Tafsir al-maragi bukanlah produk kitab tafsir. Pasalnya meski terjemahan sekalipun merupakan bentuk penafsiran tersendiri. Proses penerjemahan adalah sebuah proses penafsiran. Ada proses pemikiran dan upaya untuk mengalihkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain yang tentu saja membutuhkan ilmu-ilmu tertentu yang sangat mempengaruhi hasil terjemahan tersebut. Secara singkat bisa dikatakan, terjemahan adalah hasil penafsiran.
Dalam proses penerjemehan ada intervensi dan kecenderungan dari seorang penerjemahnya sendiri.[8] Ada penafsiran dari seorang penerjemah. Contoh kontemporer yang sederhana adalah penerjemahan kata awliya (wali) ayat 51 surat al-Maidah. Terjemahan Depag versi tahun 2002 menerjemahkan dengan ‘teman setia’sedangkan versi lebih terdahulu menerjemahkan dengan ‘Pemimpin’. Dari contoh sederhana ini dapat dilihat adanya tendensi penafsiran dari penerjemahnya.
Diakui bahwa pola penulisan tafsir di Indoensia, dalam banyak hal, masih mengikuti pola-pola penulisan serta gagasan-gagasan yang sudah ada. Namun, Azhari Akmal menyebutkan bahwa pendapat tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Pasalnya, pada bagian tertentu, tafsir-tafsir yang ada di Indonesia justru menampakkan kekhasannya sendiri. Menurutnya, sangat tidak mungkin jika seorang mufassir menafsirkan al-Quran dengan mengabaikan dimensi-dimensi lokal keindonesiaan.[9]Dorongan yang melatar belakangi seorang mufassir untuk menafsirkan sebuah ayat bahkan al-Quran secara menyeluruh 30 juz adalah untuk merespon dimensi-dimensi kehidupan pada saat itu. Artinya, nampaknya sedikit mustahil jika tafsir al-Quran Indonesia, lalu mengadopsi secara penuh kitab-kitab tafsir Timur Tengah.
Lebih lanjut Akmal memberikan contoh kasus yang disodorkan oleh tafsir-tafsir Indonesia seperti dalam kasus riba yang dijelaskan Hamka dalam tafsirnya. Hamka berpendapat bahwa bunga bank, baik dalam bentuk simpanan maupun pinjaman adalah haram. Pandangan ini yang mendorongnya untuk menegaskan bahwa umat islam harus menerapkan konsep ekonomi Islam. Selain itu Hamka juga memperbolehkan makanan dari hewan yang disembelih bukan oleh orang Islam. Mufasir lain seperti Hasbi As-Shidiqi juga mempunyai pandangan-pandangan sendiri yang berbeda dengan pandanganjumhur. Misalnya, Hasbi berpendapat bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan adalah diperbolehkan.[10] Dimensi-dimensi sosial yang sedang bergejolak dan butuh respon dari tokoh agama yang dalam hal ini adalah mufassir tentu saja menjadi perhatian para mufassir tersebut.
Beberapa tafsir yang dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang ada di Indonesia antara lain:[11]
No
Judul
Penulis
Bahasa
Tahun
1
Tarjuman Mustafid
Abdul Rauf Singkel
Melayu
Abad 17
2
Tafsir Bahasa Jawa
M. Saleh Darat
Jawa
Abad 19
3
Al-Ibriz
K.H. Bisri Mustafa
Jawa
1960
4
Al-Quran Suci Basa Jawa
Prof. Dr. M. Adnan
Jawa
1969
5
Tafsir al-Quran Karim
Mahmud Yunus dan Kasim Bakri
Indonesia
1936
6
Tafsir an-Nur
Hasbi as-Shidiqi
Indonesia
1964
7
Tafsir al-Azhar
Hamka
Indonesia
1968
8
Al-Quranul Karim: Bacaan Mulia
B.J. Yasin
Indonesia
1977
9
Tafsir al-Misbah
M. Qurash Shihab
Indonesia
2000

 Menurut Ahmad at-Tabik, dengan menukil pendapat Federspiel, mengatakan bahwa setidaknya ada beberapa corak tafsir di Indonesia. Pertama, tafsir yang hanya mengalihbahasakan dari bahasa Arab ke Bahasa Indonesia. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, meskipun hanya terjemahan, pengalihbahasaan ini merupakan tafsir. Kedua, tafsir dalam bentuk terjemahan, namun pada bagian tertentu mencantumkan keterangan-keterangan lebih detil. Biasanya pada kata-kata yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Atau, bisa juga pada ayat yang memerlukan penjelasan dikarenakan secara harfiah sulit untuk dipahami serta kadang juga pada ayat yag mengandung makna ganda. Ketiga, tafsir-tafsir yang sudah menggunakan metode-metode kontemporer. Hamka dan Hasbi masuk dalam kategori ini. Bentuk yang ketiga ini menyajikan banyak hal yang tidak ditemukan di kategori pertama dan kedua, seperti adanya pengantar tentang ulumul Quran, sejarah turunnya dan aspek-aspek lain yang mempengaruhi penafsiran al-Quran.[12]
d.      Tafsir Kontekstual di Indonesia
Gagasan tafsir kontekstual sebenarnya bukan hal baru dalam kazanah tafsir Quran di kalangan Islam. Hal ini sudah menjadi polemik di awal perkembangan islam. Meskipun tentu saja belum tertulis dalam sebuah korpus tafsir. Namun nampaknya wacana ini tersendat ketika muncul ketakutan-ketakutan bahwa menafsirkan al-Quran dengan mengandalkan ra’yu, yang mana tafir kontekstual masuk ke dalam ranah ini, mendapat anacaman keras oleh Rasul sebagaimana dituliskan dalam sebuah hadits. Hal ini nampaknya menyebabkan keengganan bagi para mufasir untuk menggunakan tafsir ­bil ra’yu, dan cenderung untuk menggunakan tafsir bil ma;tsur.
Corak penafsiran dengan pola seperti ini pada beberapa kasus menjadi hambatan bagi umat Islam sendiri. Bahkan dalam berbagai hal menimbulkan kejumudan wacan Islam modern. Pendekatan kontekstual dalam usaha menafsirkan al-Quran bukan hanya masalah yang timbul di permukaan teoritis. Pendekatan ini sudah masuk pada tataran praktis yang sangat mendesak untuk dilaksanakan. Usaha untuk mengimbangi peristiwa-peristiwa serta kasus-kasus yang sama sekali tidak ada padanan riwayat yang menjadi preseden pengambilan solusi dari al-Quran secara jelas.
Menurut Rosihan Anwar, pendekatan kontekstual ini sudah diperkenalkan oleh Fazlur Rahman berkaitan dengan penafsiran al-Quran.[13]  Pandangannya ini kemudian dianggap penting oleh para cendekiawan Muslim di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Pandangan ini sebagaimana sudah diungkapkan di awal, bukanlah pandangan yang tidak punta preseden dalam sejarah, ia sudah muncul di awal kemunculan Islam.
Al-Quran diturunkan kepada umat Islam secara bertahap dan merespon persoalan-persoalan umat Islam pada saat itu. Artinya, al-Quran bukanlah kitab suci yang di turunkan di ruang hampa soasial-historis. Kemunculannya secara kontekstual merupakan jawaban atas permasalahan-peermasalahan masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga sangatlah mustahil jika penafsiran al-Quran tidak dikontekstualkan dengan masalah yang dihadapi umat Islam pada pada saat ini maupun pada masa mendatang. Tafsir-tafsir serta riwayat-riwayat yang sudah ada dan tertulis dalam banyak literatur tentu saja bukan berarti tidak diperlukan lagi. Akan tetapi rujukan-rujukan itu dijadikan sebagai landasan serca acuan dalam mencarai format penafsiran kontekstual yang sedang dihadapi. Penafsiran kontekstual ini sangat berkembang di Indonesia mulai dari abad ke 20 sampai sekarang abad 21.
Kenyataan ini yang kemudian mendorong para cendekiawan muslim untuk menggali tafsir kontekstual dalam beberapa kasus aktual yang terjadi. Dalam kasus aktual misalnya bagaimana hukum waris diperuntukan bagi wanita yang hanya memperoleh setengah dari bagian laki-laki, dicarikan alternatif tafsir yang sesuai dengan realitas sosial keindonesiaan. Badriyah Fayumi misalnya memberikan alternatif penafsiran dengan menyarankan untuk membagi rata antara laki-laki dan perempuan.[14] Alternatif ini tentu saja didasari bahwa dalam konteks Indonesia, penanggung nafkah keluarga dalam prakteknya tidak hanya lakai-laki, perempuan juga ikut andil dalam menopang nafkah keluarga. Bahkan dalam berbagai kasus, perempuan justru malah dominan sebagai penyandang nafkah keluarga dibandingkan suaminya.
Upaya-upaya untuk memunculkan tafsir kontektual yang sesuai dengan corak keindonesiaan selain yang sudah ditawarkan oleh Badriyah Fayumi di atas tentu saja masih banyak lagi. Seperti pandangan Masdar Farid ketika memandang bahwa konsep waktu pelaksanaan haji perlu ditimbang kembali. Dia berpendapat bahwa waktu pelaksanaan haji tidak hanya terpatok pada lima hari saja (9-13 Dzulhijah) akan tetapi juga sepanjang tiga bulan, yakni Syawal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijah. Pandangan Masdar ini dilatar belakangi oleh masyaqoh atau kendala berat yang dihadapi oleh para jemaah haji jika hanya disediakan waktu selama lima hari.[15] Adanya jemaah haji yang berdesakan kemudian mati terinjak serta tidak kuat berdesakan menjadi landasan dari pemikiran masdar ini ketika menafsirkan ayat al-Baqoroh ayat 195. Dengan pertimbangan tersebut serta merujuk pada literatur-literatur klasik yang menjadi rujukan Masdar maka dia memberikan alternatif penafsiran kontekstual demikian.
 e.       Kesimpulan
Perkembangan tafsir di Indonesia pada abad ke 20 mulai menemukan titik terang untuk menuju pada corak tafsir modern yang berkembang secara pesat di abad 21. Meski demikian corak tafsir klasik yang berkembang di abad-abad sebelumnya sangat memberikan kontribusi positif dalam perkembangan tafsir di Indonersia. Bahkan, sampai saat ini kitab-kitab tafsir yang disebutkan di awal, yang masih menggunakan corak tafsir yang digolongkan ke dalam tafsir klasik yang jika di sandingkan dengan keadaan Indonesia banyak yang tidak kontekstual, masih dipelajari dan dijadikan sebagai kitab dasar dan primer dalam kajian-kajian tafsir di Indonesia. Justru dari kitab-kitab tafsir itulah para pemikir Islam Indonesia pada akhirnya bisa memformulasikan pemikiran tafsir yang kontekstual yang sesuai dengan semangat zaman dan sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Dengan cara ini nampaknya optimisme perkembangan tafsir Indonesia patut disyukuri dan dijaga agar Mufasir-mufasir  besar pasca  Abdurauf Singkel, Imam Nawawi, Hamka, Quraish Shihab serta mufasir-mufasir besar dari Indonesia bisa muncul kembali serta memberikan corak yang khas Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam kazanah tafsir al-Quran bagi dunia Islam.


DAFTAR PUSTAKA
At-Tabik, Ahmad. Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia . STAIN Kudus: Hermeunetik Vol.8. 2014
Akmal, Azhari. Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di Indonesia dan Peluang Pengembangannya. Jurnal Jurisprudensi: STAIN Zawiyah. Vol. 06. 2014
Mukhtar Adam. Ulumul Quran.Makrifat Media Utama: Bandung.
Azra, Zumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18. Kencana: Jakarta.
Budhy Munawar Rachman. Ensyclopedi Nurcholis Majid (Edisi Digital). Jilid-4. Yayasan Amal Hayati.2012.
Islib.com
Milal, Zainul, Sanad and Ulama Network of The Quranic Studies in Nusantara, Heritage Nusantara Vol 4, 2014,
Mastuki HS., M.Ag dan M. Ishom El-Saha, M.Ag. Intelektualisme Pesantren. Jilid-1. 2003
Rosihan Anwar. 2009. Pengantar Ilmu al-Quran. Pustaka Setia: Bandung. Hal.274





[1] Rosihan Anwar. 2009. Pengantar Ilmu al-Quran. Pustaka Setia: Bandung. Hal.266
[2] Ibid. Hal 259
[3] Milal, Zainul, Sanad and Ulama Network of The Quranic Studies in Nusantara,  Heritage Nusantara Vol 4, 2014, hal.24
[4] Azra, Zumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18.Kenca: Jakarta. Hal 256-258.  Selain itu, keterangan tentang informasi ini bisa juga dilihat di Intelektualisme Pesantren yang disunting oleh Mastuki HS., M.Ag dan M. Ishom El-Saha, M.Ag. Jilid-1. Hal. 92
[5] Masa tiga puuh terakhir ini nampaknya dilihat dari masa terbitnya buku, tahun 2003, padahal jauh lebih dari setengah abad sudah ada beberapa tafsir yang menafsirkan secara penuh 30 juz, diantaranya adalah Mahmud Yunus dan Hamka serta Kyai Bisri Mustofa.
[6] Intelektualisme Pesantren. Diva Pustaka. 2003. Hal. 92-93
[7] Milal, Zainul, Sanad and Ulama Network of The Quranic Studies in Nusantara Heritage Nusantara Vol 4, 2014, hal.25
[8] Budhy Munawar Rachman. Ensyclopedi Nurcholis Majid (Edisi Digital). Jilid-4. Yayasan Amal Hayati.2012. Hal. 3206-3208
[9] Akmal, Azhari. Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di Indonesia dan Peluang Pengembangannya.Jurnal Jurisprudensi: STAIN Zawiyah. Vol. 06. 2014. Hal. 100
[10] Ibid. Hal. 104
[11] KH. Drs. Mukhtar Adam. Ulumul Quran.Makrifat Media Utama: Bandung. Hal. 33-37
Mukhtar Adam menuliskan ada sebanyak 29 tafsir. Di sini hanya dituliskan beberapa saja sebagai contoh.
[12] Ahmad At-Tabik. Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia . STAIN Kudus: Hermeunetik Vol.8. Hal 320-323
[13] Rosihan Anwar. 2009. Pengantar Ilmu al-Quran. Pustaka Setia: Bandung. Hal.274
[14] Badriyah Fayumi. Pribumisasi Islam. Lakpesdam
[15] Wawancara Ulil Absar Abdala dengan Masdar Farid Masudi yang diterbitkan di Islib.com yang diposting pada 19 Januari 2011

http://www.doamadtastier.com/2017/03/perkembangan-tafsir-al-quran-di.html dikutip dikutip hari jum’at tgl 26/05/2017 wktu 22.10 WIB.

www.stainkudus.ac.id

0 komentar:

Posting Komentar

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com