KEBERKAHAN TRADISI MANGANAN WARGA DESA LEBAK JEPARA
Akhmad
Ma’sum Rosyadi
STAIN
KUDUS Jawa Tengah Indonesia
el.rosyadi@gmail.com
Abstrak
Tradisi
manganan merupakan runtutan awal acara sedekah bumi yang dilaksanakan setiap
tahun di punden makam leluhur desa yaitu mbah madinah, tradisi ini di lakukan
setiap tahun pada hari senin pahing setelah bulan dzulhijjah atau setelah idul
adha. Tradisi ini sudah lama dilakukan secara turun temurun hingga sekarang
masih dilestarikan, ratusan hewan ternak milik warga di bawa menuju ke punden
mbah madinah hewan itu di bawa dari rumah dengan berjalan kaki untuk meminta
keberkahan di punden. Penelitian ini menggunakan metode field research dan
Library research, metode filed research
ini mewawancarai Mbah Nur Khasan yang merupakan sesepuh desa Lebak Kabupaten
Jepara. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengupas bagaimana berjalannya
tradisi Manganan di desa Lebak, yang mana apakah menyimpang dari syariat Islam
atau tidak. Hasilnya, bahwa tradisi manganan desa Lebak adalah suatu tradisi
yang sakral dan tradisi rutinan setiap tahun yang di yakini warga memberikan
manfaat untuk masyarakat setempat.
Kata kunci : Berkah,
Tradisi, Manganan.
A.
Latar
Belakang
Tradisi, merupakan kebiasaan turun
temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam suatu masyarakat dan masih di lestarikan
sampai sekarang, munculnya tradisi dari
nenek moyang pastinya juga memunculkan
budaya , Secara umum kebudayaan merupakan istilah untuk segala hasil karya
manusia yang berkaitan erat dengan pengungkapan bentuk. Kebudayaan merupakan
wadah tempat hakikat manusia mengembangkan diri. Antara hakikat dan
pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin hubungan atau korelasi yang tidak dapat di
pisahkan. Dalam perkembangannya kebudayaan sering di pengaruhi oleh banyak
faktor seperti tempat, waktu, kondisi masyarakat, dan lain sebagainya sehingga
lahirlah suatu bentuk kebudayaan khusus,
seperti kebudayaan islam[1],
kebudayaan jawa budaya sosial dan lainnya.
Prilaku manusia juga mempengaruhi
tradisi karena prilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap, dan tindakan.[2]
Prilaku merupakan reaksi atau sebuah respon seorang individu terhadap stimulus
yang berasal dari luar ataupun dari dalamnya, perilaku juga reaksi psikis
terhadap lingkungannya. Dari batasan ini dapat diuraikan lagi bahwa reaksi
manusia dapat berbentuk macam-macam, yang pada hakikatnya dibagi menjadi dua,
yaitu dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau abstrak) dan dalam bentuk
aktif (dengan tindakan konkret). Respon masyarakat mengenai tradisi manganan di desa lebak
Fenomena
pluralitas kultural dan pemahaman agama menjadi menonjol dilihat dari
manifestasinya dalam budaya. Hal penting yang berkenaan dengan dialektika agama
dan pluralitas budaya lokal, perlu diperhatikan karakteristik budaya yang
mencangkup wujud, isi dan unsur-unsurnya. Wujud budaya ada tiga, yaitu gagasan,
aktivitas dan benda, ketiganya saling berkaitan. Menurut Koetjoroningrat yang
dikutip oleh Zakiyuddin bahwa isi kandungan budaya ada tujuh, antara lain:
bahasa, sistemtehnologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan,
religi dan kesenian[3].
Agama dan budaya lokal dipandang sebagai dua kekuatan yang menyatu dalam
realitas sosial. Agama sebagai ajaran transendental atau --meminjam istilah
Peter L Berger--ajaran-- langit mampu bersentuhan dan dipahami oleh umat
manusia ketika ia mampu membumikan dirinya dalam realitas kultural. Dan, pada
titik ini sebenarnya kebudayaan merupakan media yang menjembatani antara
realitas langit (transendental) dengan realitas bumi.6
Penyatuan
antara budaya lokal dan Islam merupakan penafsiran kembali atas kenyataan
adanya Islam sebagai konsepsi realitas dengan islam sebagai realitas sosial.
Dalam wacana antropologi dan sosiologi, kedua realitas tersebut dikenal dengan
konsep dualisme agama (Islam), yaitu Islam tradisi besar (great tradition) dan
tradisi kecil (little tradition) atau tradisi lokal (local tradition). Ernest
Gellner menyebut kedua model tersebut dengan tradisi tinggi (high tradition)
dan tradisi rendah (low tradition).[4]
Keberkahan,
Berkah adalah tumbuh berkembang dan bertambah. Keberkahan merupakan tentara
Allah yang di anugerahkan Allah kepada manusia yang hatinya dipandang baik oleh
Allah, siapa yang hatinya penuh dengan kemungkaran tidak akan mungkin diberi
keberkahan dalam segala aspek kehidupannya. Keberkahan tidak akan datang dengan
maksiat dan sesuka hati manusia, Allah memberikan keberkahan kepada siapa yang
di kehendaki.
Masyarakat
desa Lebak Kabupaten Jepara pemeluk agama islam yang taat. Manganan ini
merupakan acara selametan yang di laksanakan di punden desa yaitu makom sesepuh
desa yaitu mbah madinah, tradisi ini dilaksanakan setiap hari senin pahing
bulannya tidak tentu namun berpatokan setelah bodo besar atau hari raya
idul adha. Masyarakat berbondong-bondong datang ke punden dengan membawa ancak (Nasi dan lauk yang di taruh pada
ceting atau tebok) untuk selametan bersama di punden desa, ada juga yang
membawa hewan ternak mereka seperti : Sapi, Kambing, Kerbau. Mereka membawa
hewan ternak yang biasanya dulunya terkena penykit atau mandul lalu pemilik
hewan tersebut bernadzar apabila sembuh atau apabila sudah punya anak di ajak
ke punden untuk nonton pertunjukan joget dan slametan manganan, dalam tradisi
tersebut ada juga pertunjukan joget (tari) yang di iringi dengan gamelan bertujuan
untuk hiburan, karena joget merupakan hiburan orang zaman dulu, lalu setelah
jogt selesai dan masyarakat sudah kumpul maka acara slametan manganan di mulai,
dengan tujuan mendoakan sesepuh desa, dan berdoa untuk masyarakat supaya di
jauhkan dari bencana mendapat keberkahan dari Allah. percaya tradisi tersebut
perlu di lestarikan untuk tolak balak.
Selametan merupakan ritual sakral yang tertanam secara
turun temurun. Tradisi manganan ini sudah ada sejak zaman dahulu yang bertempat
juga di punden desa. Masyarakat mempercayai tradisi ini sebagai rasa syukur
atas limpahan rizki yang di berikan Allah juga meminta keberkahan segalanya dan
tolak balak segala bencana untuk warga desa Lebak. Melihat fenomena di atas
lalu bagaimana tradisi manganan ini apakah masih tetap seperti dulu atau ada
perubahan karena berkembangnya zaman?
B.
Pembahasan
a.
Pendekatan
ilmu dalam Manganan
Kata manganan berasal dari bahasa jawa
yaitu mangan yang berarti makan, Tradisi manganan berfungsi unuk menyatukan
masyarakat untuk seguyub melestarikan suatu tradisi. Sikap ramah tamah di
tindakkan dalam segi ucapan dan juga praktek tindakan.[5] Masyarakat
berkumpul dalam satu tempat berdialog dengan bahasa yang santun memberikan
informasi pada yang lainnya juga dengan sikap saling membantu keramahan dengan
sikap dan saling berbagi untuk orang yang lebih membutuhkan. fungsionalisme
adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan. Dan
fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural.[6]
Slametan merupakan esensi perwujudan
agama Jawa. Slametan adalah simbol wujud bakti orang Jawa yang oleh Supadjar di
sebut Pangestuti (abon-aboning panembah).
Slametan juga bagian dari sebuah pangestuti kawula kepada Gusti. Slametan di pandang sebagai tradisi abon-aboning penembah jati. Mulai dari
tradisi kelahiran,hidup,sampai kematian, orang jawa kaya dengan selametan. Dalam konteks ini untuk
menemukan harmonis dan ketentraman dunia yang dalam keyakinan Jawa merupakan
cermin realitas suopranatural.[7]
Masyarakat mempercayai bahwa dengan
mengadakan tradisi mangan ini guna untuk tolak balak karena suatu ketika dalam
satu tahun tidak diadakan tradisi manganan juga sedekah bumi banyak hewan
ternak masyarakat yang sakit dan ada juga yang mati secara tiba-tiba.
Masyarakat berkeyakinan bahwa penyakit yang menyerang hewan ternak mereka
merupakan akibat dari tidak di adakannya slametan manganan.
Dalam tradisi manganan kesenian joget
(tari) yang merupakan hiburan ini masih di iringi dengan alat musik gamelan
asli, tidak diganti dengan alat musik modern seperti saat ini. Penari joget
lalu mengitari hewan ternak yang di nadzarkan oleh masyarakat dengan tujuan
untuk memenuhi nadzar yang telah di ucapkan oleh pemilik hewan.[8]
Upacara ini menggunakan pendekatan
antropologis-sosial. Pendekatan ini menekankan cara bagaimana kepercayaan dan
khususnya ritus memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara
individu-individu. Pendekatan ini menekankan cara struktur sosial sebuah
kelompok.
Simpulan
Manganan berasal dari bahasa jawa yaitu mangan
yang berarti makan, Tradisi manganan berfungsi unuk menyatukan masyarakat
untuk seguyub melestarikan suatu tradisi yang telah ada sejak leluhur
terdahulu, Dalam tradisi manganan terdapat kesenian joget (tari) merupakan
hiburan ini masih di iringi dengan alat musik gamelan asli.
Masyarakat mempercayai bahwa dengan
mengadakan tradisi mangan ini guna untuk tolak balak karena suatu ketika dalam
satu tahun tidak diadakan tradisi manganan juga sedekah bumi banyak hewan
ternak masyarakat yang sakit dan ada juga yang mati secara tiba-tiba.
Masyarakat berkeyakinan bahwa penyakit yang menyerang hewan ternak mereka
merupakan akibat dari tidak di adakannya slametan manganan.
Lampiran
1. Filed
note
Peneliti : Akhmad Ma’sum Rosyadi
Lokasi : Desa Lebak Kec.Pakis Aji Kab.Jepara
Waktu : Sabtu, 13 Mei 2017 pukul 09.30 WIB
Narasumber : Mbah Nur Khasan
(Sesepuh Desa Lebak)
Tema :
Tradisi manganan di Desa Lebak Kec.Pakis Aji Kab.Jepara
Penulis
datang langsung ke rumah simbah Nur Khasan untuk mengajukan beberapa pertanyaan
tentang tradisi manganan yang ada di punden desa Lebak. Kapan tradisi manganan
itu di lakukan di punden? Lalu Mbah Nur Khasan menjawab :”Tradisi manganan di
punden biasanya dilaksanakan setiap tahun pada hari Senin pahing, biasanya di
laksanakan pada musim ketigo (kemarau) tepatnya biasanya setelah bodo
besar (Hari raya idul adha), waktunya setelah dzuhur sampai sore”.
Selanjutnya, bagaimana tanggapan
masyarakat mengenai tradisi manganan? Mbah Khasan menjawab : “ masyarakat
sangat antusias dalam tradisi ini, masyarakat berbondong-bondong ke punden
membawa ancak (nasi dan lauk di taruh dalam sebuah wadah ceting atau
tebok atau tumbu) di bawa ke punden dengan cara di pikul, biasanya ada juga
masyarakat bernadzar dengan hewan ternak sapi,kerbau atau pun kambing ketika
hewan itu sakit si pemilik hewan bernadzar jika sembuh nanti ketika ada acara
manganan di punden akan di ajak untuk menonton joget( tari) di punden dengan cara
dituntun (berjalan kaki).
Selanjutnya, bagaimana kepercaayan
masayrakat tentang tradisi manganan? Mbah Khasan menjawab :” masyarakat sangat
percaya dengan adanya tradisi ini karena sudah ada sejak zaman leluhur dahulu,
tradisi ini di percayai sebagai rasa syukur masyarakat dan mendoakan kepada
leluhur terdahulu”
Lalu, apakah ada dampak jika tradisi
ini tidak dilakukan? Mbah kahsan menjawab : “Pernah dahulu tidak diadakan
tradisi ini, namun masyarakat beranggapan akibat dari tidak diadakannya tradisi
manganan ini mengakibatkan hewan gternak mereka banyak yang sakit,bahkan ada
juga yang mati.”
Daftar
Pustaka
Drs. H. Rois Mahfud M.Pd., AL-ISLAM Pendidikan Agama Iislam, Jakarta:
Erlangga, 2011.
W. Sarlito Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Zakiyuddin Baidhawi dan Muthoharun Jinan
(ed). Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: Pusat Studi Budaya
dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003.
Drs. Joko Suryatno, Menjadi Muslim Kaffah, Mitra Pustaka : Yogyakarta, 2004.
David Kaplan,
Teori Budaya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
Prof.
Dr. Suwandi Endraswara, Agama Jawa, Narasi: Yogyakarta,2015.
Mbah Nur Khasan, Wawancara,
Jepara, 13 mei 2017.
[1] Drs.H.Rois Mahfud, M.Pd.,AL-ISLAM Pendidikan Agama Iislam, Penerbit
Erlangga, 2011. hlm 185
[2]Sarwono, W.
Sarlito, Psikologi Remaja,
Jakarta:RajaGrafindo Persada ,2004. Hlm. 71.
[3] Zakiyuddin Baidhawi dan Muthoharun Jinan (ed). Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. (Surakarta: Pusat Studi Budaya
dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003), hlm. 28.
[4] Ibid., hlm. 63.
[5] Drs. Joko
Suryatno, Menjadi Muslim Kaffah, Yogyakarta:
Mitra Pustaka,2004. Hlm. 8
[6] David
Kaplan, Teori Budaya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 77.
[7] Prof. Dr.
Suwandi Endraswara, Agama Jawa, Yogyakarta: Narasi,2015. Hlm. 27.
0 komentar:
Posting Komentar