A.
Seputar Tafsir Al Misbah karangan M. Quraish Shihab
Tafsir Al-Misbah diterbitkan pertama kali pada tahun 2000 dan disambut
dengan baik oleh kaum muslim Indonesia umumnya dan peminat tafsir Al-Qur’an
khususnya. Tafsir Al-Mishbah wajah baru dilengkapi dengan rujukan alqur’an dan
hadis, dan dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami serta pengemasan yang
lebih menarik.
Tafsir Al-Mishbah
menghimpun lebih dari 10.000 halaman yang memuat kajian tafsir Al-Qur’an yang
ditulis oleh M. Quraish Shihab ahli tafsir Al-Qur’an alumnus
Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir) pada 18 Juni 1999, di Kairo. Dengan kedalaman ilmu dan kepiawaian penulisnya
dalam menjelaskan makna sebuah kosakata dan ayat Al-Qur’an, tafsir ini mendapat
tempat di hati khalayak.
Tafsir
ini tersaji dengan gaya bahasa penulisan yang mudah dicerna segenap kalangan,
dari mulai akademisi hingga masyarakat luas. Dari segi penamaannya, Al-Mishbah
berarti “lampu, pelita, atau lentera”, yang mengindikasikan makna kehidupan dan
berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya Al-Qur’an. Penulisnya mencitakan Al-Qur’an agar semakin dan
mudah dipahami.
B.
Metode Penafsiran
Dalam hal penafsiran,
ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsirmaudu’i (tematik),
yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar
dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik
kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan
pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat
dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan
kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak
menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak
semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi
mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan
al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang
sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari
masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan
ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap
teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang
tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an.
C.
Corak Penafsiran
Sedang corak tafsir yang
menjadi kecenderungan M. Quraish Shihab adalah corakadabi ijtima‘i, yaitu
corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi
ketelitian redaksinya, menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
dengan susunan kalimat yang indah atau menarik, aksentuasi yang menonjol pada
tujuan utama turunnya al-Qur’an, yaitu memberi petunjuk kepada manusia, dan
penafsiran ayat al-Qur’an dikaitkan dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat.
D.
Contoh Ayat
1. Sebagai contoh adalah tentang poligami, di mana Allâh swt berfirman dalam
surat an-Nisa: 3 yaitu:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’:3)
Menurut Quraish, pada
hakikatnya ayat ini hanya memberikan wadah bagi yang menginginkannya, ketika
menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti terputusnya kehendak biologis
laki-laki karena wanita telah mengalami manopouse, wanita yang
tidak dapat memberikan keturunan, penyakit yang ada pada diri seorang wanita, peperangan
yang berkepanjangan. Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang
disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau
mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang
tidak ringan itu.
Berdasarkan pemaparan
di atas maka dapat difahami bahwa pendapat Quraish tersebut menunjukkan bahwa
poligami dapat dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan
keadilan (dalam hal cinta) hampir mustahil dapat terpenuhi sepenuhnya, maka
kebolehan tersebut tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang
terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara tentang poligami
ini bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan
berlaku aniaya terhadap anak yatim. Dan ayat ini turun ketika ada wali yang
mengawini anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak
memberikan hak-hak anak-anak yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras
larangannya. Dalam hal ini, Quraish Shihab mendukung dibukanya akses poligami
ini agar tidak terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun
janda.
2. Tentang Onani, dimana firman Allah surat al mukminun ayat 5-6:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela (6)barangsiapa mencari yang di
balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (7)
Dalam hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani. Namun dalam hal ini,
Quraish mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan
dengan keadan saat ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani pada dasarnya
terlarang, tetapi ia dapat dibenarkan bila memenuhi tiga syarat. Pertama,
yang bersangkutan tidak mampu kawin. Kedua, khawatir terjerumus
dalam perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh
kelezatan. Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak
sering dilakukan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan. Dalam hal
ini, ‘illahhukum yang ditekankan oleh Quraish adalah dalam hal
“terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jika ‘illah itu
kemudian ada pada diri seseorang, seperti terbengkalainya pekerjaan,
terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani
tersemat pada dirinya.
www.stainkudus.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar