Jumat, 26 Mei 2017

Tentang Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab







A.      Seputar Tafsir Al Misbah karangan M. Quraish Shihab
Tafsir Al-Misbah diterbitkan pertama kali pada tahun 2000 dan disambut dengan baik oleh kaum muslim Indonesia umumnya dan peminat tafsir Al-Qur’an khususnya. Tafsir Al-Mishbah wajah baru dilengkapi dengan rujukan alqur’an dan hadis, dan dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami serta pengemasan yang lebih menarik.
Tafsir Al-Mishbah menghimpun lebih dari 10.000 halaman yang memuat kajian tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh M. Quraish Shihab  ahli tafsir Al-Qur’an alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir) pada 18 Juni 1999, di Kairo. Dengan kedalaman ilmu dan kepiawaian penulisnya dalam menjelaskan makna sebuah kosakata dan ayat Al-Qur’an, tafsir ini mendapat tempat di hati khalayak.
Tafsir ini tersaji dengan gaya bahasa penulisan yang mudah dicerna segenap kalangan, dari mulai akademisi hingga masyarakat luas. Dari segi penamaannya, Al-Mishbah berarti “lampu, pelita, atau lentera”, yang mengindikasikan makna kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya Al-Qur’an. Penulisnya mencitakan Al-Qur’an agar semakin dan mudah dipahami.

B.     Metode Penafsiran
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsirmaudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an.

C.    Corak Penafsiran
Sedang corak tafsir yang menjadi kecenderungan M. Quraish Shihab adalah corakadabi ijtima‘i, yaitu corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah atau menarik, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Qur’an, yaitu memberi petunjuk kepada manusia, dan penafsiran ayat al-Qur’an dikaitkan dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.

D.    Contoh Ayat
1.    Sebagai contoh adalah tentang poligami, di mana Allâh swt berfirman dalam surat an-Nisa: 3 yaitu:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ  لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’:3)
Menurut Quraish, pada hakikatnya ayat ini hanya memberikan wadah bagi yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti terputusnya kehendak biologis laki-laki karena wanita telah mengalami manopouse, wanita yang tidak dapat memberikan keturunan, penyakit yang ada pada diri seorang wanita, peperangan yang berkepanjangan. Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat difahami bahwa pendapat Quraish tersebut menunjukkan bahwa poligami dapat dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan (dalam hal cinta) hampir mustahil dapat terpenuhi sepenuhnya, maka kebolehan tersebut tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara tentang poligami ini bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim. Dan ayat ini turun ketika ada wali yang mengawini anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak memberikan hak-hak anak-anak yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras larangannya. Dalam hal ini, Quraish Shihab mendukung dibukanya akses poligami ini agar tidak terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun janda.

2.      Tentang Onani, dimana firman Allah surat al mukminun ayat 5-6:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ .  إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
 “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya  kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6)barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (7)
Dalam hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani. Namun dalam hal ini, Quraish mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan dengan keadan saat ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani pada dasarnya terlarang, tetapi ia dapat dibenarkan bila memenuhi tiga syarat. Pertama, yang bersangkutan tidak mampu kawin. Kedua, khawatir terjerumus dalam perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan. Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak sering dilakukan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan. Dalam hal ini, ‘illahhukum yang ditekankan oleh Quraish adalah dalam hal “terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jika ‘illah itu kemudian ada pada diri seseorang, seperti terbengkalainya pekerjaan, terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani tersemat pada dirinya.


www.stainkudus.ac.id

0 komentar:

Posting Komentar

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com