Selasa, 06 Juni 2017

PENDEKATAN TAFSIR MAUDHU’I TAFSIR ROWA’I AL-BAYAN KARYA AS-SHOBUNI

 PENDEKATAN TAFSIR MAUDHU’I TAFSIR ROWA’I AL-BAYAN KARYA
AS-SHOBUNI

Oleh : Akhmad Ma'sum Rosyadi



A.    Biografi  Muhammad Ali Ash-Shabuni
Muhammad Ali bin Jamil ash-Shabuni dilahirkan di Kota Halb pada tahun 1930 M/1350 H dari keluarga yang memegang teguh agama Islam, diketahui bahwa ayahnya - Syekh Jamil - merupakan salah satu ulama masyhur di Aleppo dan ash-Shabuni mendapatkan bimbingan langsung dari ayahnya ini. Sejak kecil ash-Shabuni telah memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama bahkan dalam usian yang masih belia ia telah hafal al-Qur'an serta memperoleh pendidikan dasar mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu agama lainnya dari ayahnya. Selain berguru pada ayah ia juga berguru pada Syaikh Muhammad Najib Sirajuddin, Syaikh Ahmad ash-Shama, Syaikh Muhammad Said al-Idlibi, Syaikh Muhammad Raghib at-Tabbakh, dan Syaikh Muhammad Najib Khayatah, mereka adalah ulama terkenal di Aleppo.
Ash-Shabuni melanjutkan pendidikannya ke Madrasah at-Tijariyyah-selama setahun-kemudian ia melanjutkan ke sekolah khusus Syari’ah di Khasrawiyya-Aleppo yang lulus pada tahun 1949 M. Adapun strata satunya ia dapat dari Universitas al-Azhar, Fakultas Syari'ah pada tahun 1952 M dan mendapat gelar Magister di bidang peradilan Syariah (Qudha asy-Syar'iyyah) dua tahun kemudian universitas yang sama. Sekarang ia seorang Professor di bidang Syari’ah dan Dirasah Islamiyah (Islamic Studies) di Universitas King Abdul Aziz Makkah al-Mukarramah[1].
Menjadikan diri sebagai insan yang bermanfaat untuk ummat adalah dambaan setiap muslim yang dianugrahi fitrah agama yang hanif ini. Setidaknya itulah yang ingin dituangkan oleh ash-Shobuni dalam karya-karya. Berkhidmat kepada agama dan ilmu menjadi pilihan yang membawanya kepada sebuah peninggalan yang baik yang kelak akan menjadi simpanan yang kekal sesudah kematiannya. Sebagai ulama yang mumpuni di bidang al-Qur’an, syaria’h dan berbagai disiplin ilmu lainnya, as-Shabuni aktif dalam menulis dan menelurkan banyak karya fenomenal, diantara karya ilmiah yang berhasil ia tulis adalah, Shafwah al-Tafasir, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Pengantar Studi Al Qur’an), Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, at-Tafsir al-Wadhi al-Muyasar,Fiqh al-Ibadat fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, Qabasun min Nur al-Qur’an, Fiqh al-Mu’amalat fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, al-Mawarits fi Syar’i al-Islamiyah, an-Nubuwwah wa al-Anbiya’, Min Kunuz as-Sunnah, Mausu’ah al-Fiqhi asy-Syar’i al-Muyassar, Tanwir al-Adham min Tafsir Ruh al-Bayan, Jammi' al-Bayan, al-Huda an-Nabawi ash-Shahih fi Shalat at-Tarawih[6]serta Kitab Rawai’ al-Bayan fi Tasair Ayat al-Ahkam min al-Qur’an.
B.      Sistematika Kitab Tafsir Rawai' al-Bayan
Ash-Shobuni dalam menyusunan Rawai’ al-Bayan ini dengan mengurutkan dari al-Fatihah hingga al-Muzammil serta memfokuskan kepada ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum dan setiap satu pembahasan diberi tema hukum yang sesuai dengan kandungan ayat tersebut. Kitab ini berisi 70 tema pembahasan (al-muhadharah). Sedangkan sistematika yang digunakan dalam Rawai' al-Bayan adalah sistematika tematik modern plural. Sebuah model penyajian yang di dalamnya terdapat banyak tema penting yang disusun berdasarkan kepada susunan mushaf standar.
Untuk mempermudah dalam memahami ayat yang ditafsir dalam kitab Rawai’ al-Bayan ini, ash-Shobuni mnggunakan sepuluh metode pembahasan,di antaranya yaitu:
a.       التحليل اللفظي (pengertian kosa kata), yakni menguraikan kosa kata yang sulit atau penting untuk dibahas dengan berpegang pada pendapat para mufasir dan ahli-ahli bahasa.
b.      المعني الأجمالي (makna global), Makna Ijmali dikemas dalam bahasa sendiri dan tidak menggunakan catatan kakihal ini bertujuan agar pembaca tidak terganggu perhatiannya dalam memahami maksud ayat secara ringkas dan menyeluruh.
c.       سبب النزول, Sabab an-Nuzul ini dicantumkan jika ayat yang bersangkutan mempunyai sababunnuzul-nya, karena tidak semua ayat al-Qur'an memiliki asbab an-nuzul.
d.      بين الأيات المناسبة (hubungan/kesesuaian antar ayat), pengetahuan tentang munasabah ini sangat penting dalam memahami keserasian makna antar ayat dalam al-Qur’an.
e.       وجوه القراءات, ash-Shabuni mengatakan bahwasanya qira'at adalah salah satu madzhab dari beberapa mdzhab artikulasi (kosakata) al-Qur'an yang dipilih oleh salah seorang imam qira'at yang berbeda dengan madzhab lainnya serta berdasarkan pada sanad yang bersambung kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.[2]
f.       وجوه الاِعراب , ash-Shobuni membahasan i'rab secara ringkas dan cenderung lebih banyak menerangkan tarkib (susunan) kata untuk menjelaskan kedudukan sebuah kata dalam al-Qur’an.
g.      لطائف التفسير (Intisari tafsir), penafsiran ini meliputi rahasia susunan redaksi ayat, kehalusan tafsir. Kehalusan tafsir (lathaif at-tafsir) dianggap penting oleh ash-Shabuni karena pembaca akan lebih mudah mencerna makna yang dikandung dalam suatu ayat.
h.      الأحكام الشرعية, pembahasan hukum dalam tafsir ini sangat penting, Ash-Shabuni sendiri mengambil sumber dari pendapat para sahabat, tabi'in dan para imam madzhab. Dalam masalah fiqh ash-Shabuni tidak berpegang pada satu madzhab namun mengambil pendapat yang dianggap lebih kuat, metode ini dikenal dengan nama at-Talfiq dan at-Tarjih.
i.        الخلاصة (kesimpulan), ash-Shabuni menggunakan kesimpulan ringkas dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dari ayat. Ia memuat makna global dan kesimpulan pada setiap pembahasannya, jika makna globalnya diletakan di awal pembicaraan maka kesimpulannya berada di akhir pembahasan.
j.        حكمة التشريع (penutup pembahasan), bagian terakhir pengarang menampilkan segi "hikmatut tasyri'” dengan tujuan ingin menunjukkan bahwa setiap ayat hukum dalam al-Qur’an mengandung hikmah dan dapat diambil pelajarannya.

C.    Corak Penafsiran
Kitab Rawai' al-Bayan ini termasuk dalam kategori at-tafsir al-fiqhiy atau hukum, dikarenakan tafsir ini secara khusus hanya membahas masalah hukum. At-Tafsir al-fiqhi sendiri pada umumnya merupakan penafsiran yang dilakukan oleh tokoh suatu mazhab tertentu untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran mazhabnya. at-Tafsir al-Fiqhiy ini dapat pula dikatakan sebagai at-Tafsir al-Ahkam karena corak tafsir ini berorientasi pada hukum Islam (fiqh). Corak fiqih muncul karena berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya lewat penafsiran terhadap ayat-ayat hukum. Sedangkan ash-Shabuni sendiri tidak berpegang pada satu madzhab tertentu (at-talfiq), ia mengambil pendapat yang dianggapnya lebih kuat (at-tarjih) dalam menetapkan sebuah hukum. Namun tafsir ini di himpun brdasarkan tema tema yang diambil dan juga disertai asbabunnuzulnya jadi juga termasuk corak tafsir maudhu’i atau tematik.
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.[3] Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu sehingga dikumpulkan menjadi kumpulan penafsiran berdasarkan tema tema yang ada.
D.    Contoh Penafsiran
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185) وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186) أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)}
Artinya:(183) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(184) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (185) (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (186) dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), “bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”(187) Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(QS Al-Baqarah: 183-187).


1.      Penjelasan Ayat Secara Global
Allah Swt menjelaskan kepada kita mengenai kewajiban berpuasa, sebagaimana puasa tersebut telah di wajibkan kepada umat-umat terdahulu. Di balik kewajiban tersebut, terdapat faedah dan hikmah yang besar bagi orang yang berpuasa, yaitu dalam rangka mencetak dan mempersiapkan manusia-manusia yang taqwa pada Allah Swt[4].
Kewajiban puasa ini terbatas  pada waktu dan hari-hari tertentu saja, dan tidak selamanya, yaitu dalam bulan Ramadhan saja. Bahkan bila orang yang berpuasa itu dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan, orang tersebut diperbolehkan untuk berbuka dan tidak berpuasa, asalkan dia menggantinya di bulan-bulan yang lain sejumlah hari puasa yang di tinggalkannya. Hal ini merupakan sebagian dari rahmat dan kemurahan Allah Swt bagi hamba-Nya.
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa puasa diwajibkan dalam bulan Ramadhan, yang pada bulan ini juga, diturunkan al-Quran sebagai hidayah dan petunjuk serta pedoman hidup bagi umat manusia.
Kemudian dalam kerangka puasa, Allah Swt masih membenarkan dan memberikan keringanan kepada kita, yaitu selain dibolehkannya makan dan minum di malam hari, juga diperbolehkan untuk menggauli istri masing-masing. Padahal, untuk umat-umat terdahulu, hal tersebut tidak dibenarkan.[5]
2.      Analisis Ayat
a.       Ayat di atas mengisyaratkan bahwa puasa merupakan ibadah yang terdahulu, yang telah diwajibkan Allah Swt kepada umat-umat sebelum kita. Akan tetapi, ahli kitab mengubah dan mengganti kewajiban ini, karena sering kali waktu diwajibkannya puasa bertepatan dengan musim panas dan musim dingin. Mereka memindahkannya ke musim bunga dengan menambah bilangan hari puasa menjadi lima puluh hari (sebagai kafarat dari pemindahan waktu tersebut).
b.      (فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر) Ibnu Arabi berkata: ayat ini merupakan Lathîfu al- Fashôhah(kalimat/perkataan yang halus), dan bila dijabarkan (فَاَفْطِرْفَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر).
c.       (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ) Ayat ini menunjukkan bahwa maksud utama adanya rukhshôh[6] adalah menghilangkan kesukaran dan bahaya. Oleh karena itu, sakit yang ringan dan perjalanan yang dekat tidak didapati adanya kesukaran yang membolehkan untuk berbuka.
d.      (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) Maksud dari ayat tersebut yaitu mengetahui kehadirannya melalui mata kepala atau melalui perhitungan bahwa bulan dapat dilihat dengan mata kepala (walau secara faktual tidak terlihat karena mendung atau hal yang lain), maka hendaklah berpuasa. Yang tidak melihatnya juga wajib berpuasa bila dia mengetahuinya dari orang terpercaya.
e.       (يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ) Ayat ini termasuk sebagian dari Muhassinâtu al-Badî’iyyah (susunan sastra yang indah)yang biasa disebut Thibâqu as-Salb. Ayat ini merupakan hukum pokok dalam agama dan merupakan asaldari kaidah Ushûliy "المشقةُ   تَجْلبُ التَيْسيرَ".
f.       (حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ) Ayat ini merupakan Isti’âroh al-Ajîbah (peminjaman kata untuk menampakkan keindahan bahasa). Adapun maksud dari ayat tersebut yaitu cahaya yang nampak membentang di ufuk bagaikan benang putih yang panjang pada saat tampaknya fajar shadiq, dan dari benang hitam yang membentang bersama cahaya fajar dari kegelapan malam.
3.      Kandungan Hukum
a.      Apakah boleh berbuka bagi orang yang sakit atau bepergian?
1)      Safar dan maridh yang diperbolehkan untuk berpuasa adalah safar dan maridh secara mutlak/umum. Artinya asalkan ia bepergian keluar dari domisilnya/tempat tinggalnya atau terkena penyakit, seperti sakit gigi, perut, jari, dan sebagainya, sudah diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
2)      Sebagian ulama berpendapat bahwa rukhshâh yang diberikan kepada orang yang sakit, yaitu apabila ia terus berpuasa, maka akan bertambah penderitaan dan rasa sakitnya. Begitu pula terhadap orang-orang yang sedang musafir/bepergian.
3)      Jumhur ulama berpendapat bahwa sakit yang diperbolehkan untuk berbuka puasa adalah sakit yang berat dan keras, yang apabila ia berpuasa akan membahayakan jiwanya atau paling tidak akan bertambah penyakitnya. Sedangkan mengenai safar atau bepergian, adalah perjalanan yang jauh, yang menurut kebiasaan akan dapat mengakibatkan penderitaan dan kelelahan.
b.      Apakah dalam mengganti puasa wajib bersambung bagi orang yang meninggalkanpuasa?
 Jumhur ulama berpendapat bahwa qadhâ boleh dilakukan sesuai dengan kehendaknya, baik dilakukan secara berturut-turut atau berpisah-pisah. Karena Allah telah berfirman فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ”. Ayat ini tidak mensyaratkan harus berturut-turut dan sebagainya, tetapi yang terpenting adalah terpenuhi jumlah hari-hari yang ditinggalkan.[7]




Simpulan
Ash-Shabuni termasuk ulama yang produktif abad ini dan telah banyak menghasilkan banyak karya dan kitab Rawai' al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an merupakan salah satu karyanya yang banyak dirujuk oleh banyak ilmuan muslim. Kitab Rawai’ al-Bayan fi Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur'an dapat disebut sebagai tafsir fiqhiy dengan perbandingan (muqarin) dengan corak penafsiran maudhu’i(tematik). Beberapa ulama memandang bahwa kitab Rawai' al-Bayan merupakan kitab tafsir yang baik, karena menggunakan sistematika dan metode tafsir yang modern yang dipadukan dengan penafsiran para ulama salaf. Kelebihan lain dari tafsir Rawai' al-Bayan ialah sistematika yang digunakan tersusun rapi dengan menyusun per tema.
Kewajiban puasa ini terbatas  pada waktu dan hari-hari tertentu saja, dan tidak selamanya, yaitu dalam bulan Ramadhan saja. Bahkan bila orang yang berpuasa itu dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan, orang tersebut diperbolehkan untuk berbuka dan tidak berpuasa, asalkan dia menggantinya di bulan-bulan yang lain sejumlah hari puasa yang di tinggalkannya. Hal ini merupakan sebagian dari rahmat dan kemurahan Allah Swt bagi hamba-Nya.











Daftar Pustaka
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1995
Hussain, Muhammad ad-Dzahabi dalam At-Tafsir wal Mufassirun, Cairo : Maktabah Wahabah, 2003
ash-Shabuni, Muhammad Ali, Rawai' al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, Jilid 1, Beirut: Dar al-Kutub, 1420 H/1999 M
Syarjaya,E. Syibli, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2008.




[1] Hussain, Muhammad ad-Dzahabi dalam At-Tafsir wal Mufassirun, Cairo : Maktabah Wahabah, 2003, hlm. 507.
[2] ash-Shabuni, Rawai' al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, Jilid 1, Beirut: Dar al-Kutub, 1420 H/1999 M, hlm 11.
[3]  Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.
[4]E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2008, hlm. 149.
[5]Muhammad Ali Ash-Shobuni..... hlm. 178.
[6]Rukhshôh adalah keringanan.
[7]Ash-Shobuni...., hlm. 193.


0 komentar:

Posting Komentar

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com