PENDEKATAN TAFSIR MAUDHU’I TAFSIR ROWA’I
AL-BAYAN KARYA
AS-SHOBUNI
Oleh : Akhmad Ma'sum Rosyadi
A.
Biografi Muhammad Ali
Ash-Shabuni
Muhammad Ali
bin Jamil ash-Shabuni dilahirkan di Kota Halb pada tahun 1930 M/1350 H dari
keluarga yang memegang teguh agama Islam, diketahui bahwa ayahnya - Syekh Jamil
- merupakan salah satu ulama masyhur di Aleppo dan ash-Shabuni mendapatkan
bimbingan langsung dari ayahnya ini. Sejak kecil ash-Shabuni telah
memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama bahkan
dalam usian yang masih belia ia telah hafal al-Qur'an serta memperoleh
pendidikan dasar mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu agama lainnya dari
ayahnya. Selain berguru pada ayah ia juga berguru pada Syaikh Muhammad Najib
Sirajuddin, Syaikh Ahmad ash-Shama, Syaikh Muhammad Said al-Idlibi, Syaikh
Muhammad Raghib at-Tabbakh, dan Syaikh Muhammad Najib Khayatah, mereka adalah
ulama terkenal di Aleppo.
Ash-Shabuni
melanjutkan pendidikannya ke Madrasah at-Tijariyyah-selama setahun-kemudian ia
melanjutkan ke sekolah khusus Syari’ah di Khasrawiyya-Aleppo yang lulus pada
tahun 1949 M. Adapun strata satunya ia dapat dari Universitas al-Azhar,
Fakultas Syari'ah pada tahun 1952 M dan mendapat gelar Magister di bidang
peradilan Syariah (Qudha asy-Syar'iyyah) dua tahun kemudian universitas yang
sama. Sekarang ia seorang Professor di bidang Syari’ah dan Dirasah Islamiyah
(Islamic Studies) di Universitas King Abdul Aziz Makkah al-Mukarramah[1].
Menjadikan diri
sebagai insan yang bermanfaat untuk ummat adalah dambaan setiap muslim yang
dianugrahi fitrah agama yang hanif ini. Setidaknya itulah yang ingin dituangkan
oleh ash-Shobuni dalam karya-karya. Berkhidmat kepada agama dan ilmu menjadi pilihan
yang membawanya kepada sebuah peninggalan yang baik yang kelak akan menjadi
simpanan yang kekal sesudah kematiannya. Sebagai ulama yang mumpuni di bidang
al-Qur’an, syaria’h dan berbagai disiplin ilmu lainnya, as-Shabuni aktif dalam
menulis dan menelurkan banyak karya fenomenal, diantara karya ilmiah yang
berhasil ia tulis adalah, Shafwah al-Tafasir, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an
(Pengantar Studi Al Qur’an), Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, at-Tafsir al-Wadhi
al-Muyasar,Fiqh al-Ibadat fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, Qabasun min Nur
al-Qur’an, Fiqh al-Mu’amalat fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, al-Mawarits fi
Syar’i al-Islamiyah, an-Nubuwwah wa al-Anbiya’, Min Kunuz as-Sunnah, Mausu’ah
al-Fiqhi asy-Syar’i al-Muyassar, Tanwir al-Adham min Tafsir Ruh al-Bayan,
Jammi' al-Bayan, al-Huda an-Nabawi ash-Shahih fi Shalat at-Tarawih[6]serta
Kitab Rawai’ al-Bayan fi Tasair Ayat al-Ahkam min al-Qur’an.
B.
Sistematika Kitab Tafsir
Rawai' al-Bayan
Ash-Shobuni
dalam menyusunan Rawai’ al-Bayan ini dengan mengurutkan dari al-Fatihah hingga
al-Muzammil serta memfokuskan kepada ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum
dan setiap satu pembahasan diberi tema hukum yang sesuai dengan kandungan ayat
tersebut. Kitab ini berisi 70 tema pembahasan (al-muhadharah). Sedangkan
sistematika yang digunakan dalam Rawai' al-Bayan adalah sistematika tematik
modern plural. Sebuah model penyajian yang di dalamnya terdapat banyak tema
penting yang disusun berdasarkan kepada susunan mushaf standar.
Untuk
mempermudah dalam memahami ayat yang ditafsir dalam kitab Rawai’ al-Bayan ini,
ash-Shobuni mnggunakan sepuluh metode pembahasan,di antaranya yaitu:
a.
التحليل اللفظي (pengertian kosa kata), yakni menguraikan
kosa kata yang sulit atau penting untuk dibahas dengan berpegang pada pendapat
para mufasir dan ahli-ahli bahasa.
b.
المعني الأجمالي (makna global), Makna Ijmali dikemas dalam
bahasa sendiri dan tidak menggunakan catatan kakihal ini bertujuan agar pembaca
tidak terganggu perhatiannya dalam memahami maksud ayat secara ringkas dan
menyeluruh.
c.
سبب النزول, Sabab an-Nuzul ini dicantumkan jika ayat
yang bersangkutan mempunyai sababunnuzul-nya, karena tidak semua ayat al-Qur'an
memiliki asbab an-nuzul.
d.
بين الأيات المناسبة (hubungan/kesesuaian antar ayat), pengetahuan
tentang munasabah ini sangat penting dalam memahami keserasian makna antar ayat
dalam al-Qur’an.
e.
وجوه القراءات, ash-Shabuni mengatakan bahwasanya qira'at
adalah salah satu madzhab dari beberapa mdzhab artikulasi (kosakata) al-Qur'an
yang dipilih oleh salah seorang imam qira'at yang berbeda dengan madzhab
lainnya serta berdasarkan pada sanad yang bersambung kepada Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam.[2]
f.
وجوه الاِعراب , ash-Shobuni membahasan i'rab secara ringkas
dan cenderung lebih banyak menerangkan tarkib (susunan) kata untuk menjelaskan
kedudukan sebuah kata dalam al-Qur’an.
g.
لطائف التفسير (Intisari tafsir), penafsiran ini meliputi
rahasia susunan redaksi ayat, kehalusan tafsir. Kehalusan tafsir (lathaif
at-tafsir) dianggap penting oleh ash-Shabuni karena pembaca akan lebih mudah
mencerna makna yang dikandung dalam suatu ayat.
h.
الأحكام الشرعية, pembahasan hukum dalam tafsir ini sangat
penting, Ash-Shabuni sendiri mengambil sumber dari pendapat para sahabat,
tabi'in dan para imam madzhab. Dalam masalah fiqh ash-Shabuni tidak berpegang
pada satu madzhab namun mengambil pendapat yang dianggap lebih kuat, metode ini
dikenal dengan nama at-Talfiq dan at-Tarjih.
i.
الخلاصة (kesimpulan), ash-Shabuni menggunakan
kesimpulan ringkas dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dari
ayat. Ia memuat makna global dan kesimpulan pada setiap pembahasannya, jika
makna globalnya diletakan di awal pembicaraan maka kesimpulannya berada di
akhir pembahasan.
j.
حكمة التشريع (penutup pembahasan), bagian terakhir
pengarang menampilkan segi "hikmatut tasyri'” dengan tujuan ingin
menunjukkan bahwa setiap ayat hukum dalam al-Qur’an mengandung hikmah dan dapat
diambil pelajarannya.
C.
Corak Penafsiran
Kitab Rawai'
al-Bayan ini termasuk dalam kategori at-tafsir al-fiqhiy atau hukum,
dikarenakan tafsir ini secara khusus hanya membahas masalah hukum. At-Tafsir
al-fiqhi sendiri pada umumnya merupakan penafsiran yang dilakukan oleh tokoh
suatu mazhab tertentu untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran
mazhabnya. at-Tafsir al-Fiqhiy ini dapat pula dikatakan sebagai at-Tafsir
al-Ahkam karena corak tafsir ini berorientasi pada hukum Islam (fiqh). Corak
fiqih muncul karena berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab
fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya lewat
penafsiran terhadap ayat-ayat hukum. Sedangkan ash-Shabuni sendiri tidak
berpegang pada satu madzhab tertentu (at-talfiq), ia mengambil pendapat yang
dianggapnya lebih kuat (at-tarjih) dalam menetapkan sebuah hukum. Namun tafsir
ini di himpun brdasarkan tema tema yang diambil dan juga disertai
asbabunnuzulnya jadi juga termasuk corak tafsir maudhu’i atau tematik.
Ali Khalil
sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan pengertian
tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu
tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat
tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab
al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam
kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar,
yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya,
sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan
sempurna.[3]
Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu
yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah
semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah
kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru
akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang
saling terkait itu sehingga dikumpulkan menjadi kumpulan penafsiran berdasarkan
tema tema yang ada.
D. Contoh Penafsiran
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185) وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186) أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ
لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ
اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)}
Artinya:(183)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(184) (yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (185) (Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (186) dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, Maka (jawablah), “bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”(187) Dihalalkan bagi
kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.(QS Al-Baqarah: 183-187).
1.
Penjelasan
Ayat Secara Global
Allah Swt
menjelaskan kepada kita mengenai kewajiban berpuasa, sebagaimana puasa tersebut
telah di wajibkan kepada umat-umat terdahulu. Di balik kewajiban tersebut, terdapat
faedah dan hikmah yang besar bagi orang yang berpuasa, yaitu dalam rangka
mencetak dan mempersiapkan manusia-manusia yang taqwa pada Allah Swt[4].
Kewajiban puasa
ini terbatas pada waktu dan hari-hari
tertentu saja, dan tidak selamanya, yaitu dalam bulan Ramadhan saja. Bahkan
bila orang yang berpuasa itu dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan,
orang tersebut diperbolehkan untuk berbuka dan tidak berpuasa, asalkan dia
menggantinya di bulan-bulan yang lain sejumlah hari puasa yang di tinggalkannya.
Hal ini merupakan sebagian dari rahmat dan kemurahan Allah Swt bagi hamba-Nya.
Dalam ayat ini,
dijelaskan bahwa puasa diwajibkan dalam bulan Ramadhan, yang pada bulan ini
juga, diturunkan al-Quran sebagai hidayah dan petunjuk serta pedoman hidup bagi
umat manusia.
Kemudian dalam
kerangka puasa, Allah Swt masih membenarkan dan memberikan keringanan kepada
kita, yaitu selain dibolehkannya makan dan minum di malam hari, juga
diperbolehkan untuk menggauli istri masing-masing. Padahal, untuk umat-umat terdahulu,
hal tersebut tidak dibenarkan.[5]
2. Analisis Ayat
a. Ayat
di atas mengisyaratkan bahwa puasa merupakan ibadah yang terdahulu, yang telah
diwajibkan Allah Swt kepada umat-umat sebelum kita. Akan tetapi, ahli kitab
mengubah dan mengganti kewajiban ini, karena sering kali waktu diwajibkannya
puasa bertepatan dengan musim panas dan musim dingin. Mereka memindahkannya ke
musim bunga dengan menambah bilangan hari puasa menjadi lima puluh hari
(sebagai kafarat dari pemindahan waktu tersebut).
b. (فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَر)
Ibnu Arabi berkata: ayat ini merupakan Lathîfu al- Fashôhah(kalimat/perkataan
yang halus), dan bila dijabarkan (فَاَفْطِرْفَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَر).
c. (وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ) Ayat ini menunjukkan bahwa maksud utama
adanya rukhshôh[6]
adalah menghilangkan kesukaran dan bahaya. Oleh karena itu, sakit yang ringan
dan perjalanan yang dekat tidak didapati adanya kesukaran yang membolehkan
untuk berbuka.
d. (فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) Maksud dari ayat tersebut yaitu
mengetahui kehadirannya melalui mata kepala atau melalui perhitungan bahwa
bulan dapat dilihat dengan mata kepala (walau secara faktual tidak terlihat
karena mendung atau hal yang lain), maka hendaklah berpuasa. Yang tidak
melihatnya juga wajib berpuasa bila dia mengetahuinya dari orang terpercaya.
e. (يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ) Ayat ini termasuk sebagian dari Muhassinâtu
al-Badî’iyyah (susunan sastra yang indah)yang biasa disebut Thibâqu as-Salb.
Ayat ini merupakan hukum pokok dalam agama dan merupakan asaldari kaidah Ushûliy
"المشقةُ تَجْلبُ التَيْسيرَ".
f. (حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ) Ayat
ini merupakan Isti’âroh al-Ajîbah (peminjaman kata untuk menampakkan
keindahan bahasa). Adapun maksud dari ayat tersebut yaitu cahaya yang nampak
membentang di ufuk bagaikan benang putih yang panjang pada saat
tampaknya fajar shadiq, dan dari benang hitam yang membentang
bersama cahaya fajar dari kegelapan malam.
3. Kandungan Hukum
a. Apakah boleh berbuka bagi orang yang sakit atau
bepergian?
1) Safar dan maridh yang
diperbolehkan untuk berpuasa adalah safar dan maridh secara
mutlak/umum. Artinya asalkan ia bepergian keluar dari domisilnya/tempat tinggalnya
atau terkena penyakit, seperti sakit gigi, perut, jari, dan sebagainya, sudah diperbolehkan
untuk tidak berpuasa.
2) Sebagian
ulama berpendapat bahwa rukhshâh yang diberikan kepada orang yang sakit,
yaitu apabila ia terus berpuasa, maka akan bertambah penderitaan dan rasa
sakitnya. Begitu pula terhadap orang-orang yang sedang musafir/bepergian.
3) Jumhur
ulama berpendapat bahwa sakit yang diperbolehkan untuk berbuka puasa adalah
sakit yang berat dan keras, yang apabila ia berpuasa akan membahayakan jiwanya
atau paling tidak akan bertambah penyakitnya. Sedangkan mengenai safar atau
bepergian, adalah perjalanan yang jauh, yang menurut kebiasaan akan dapat mengakibatkan
penderitaan dan kelelahan.
b. Apakah dalam mengganti puasa wajib bersambung bagi
orang yang meninggalkanpuasa?
Jumhur ulama berpendapat bahwa qadhâ
boleh dilakukan sesuai dengan kehendaknya, baik dilakukan secara berturut-turut
atau berpisah-pisah. Karena Allah telah berfirman “فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ”. Ayat ini tidak mensyaratkan harus
berturut-turut dan sebagainya, tetapi yang terpenting adalah terpenuhi jumlah
hari-hari yang ditinggalkan.[7]
Simpulan
Ash-Shabuni
termasuk ulama yang produktif abad ini dan telah banyak menghasilkan banyak
karya dan kitab Rawai' al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an merupakan
salah satu karyanya yang banyak dirujuk oleh banyak ilmuan muslim. Kitab Rawai’
al-Bayan fi Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur'an dapat disebut sebagai tafsir
fiqhiy dengan perbandingan (muqarin) dengan corak penafsiran maudhu’i(tematik).
Beberapa ulama memandang bahwa kitab Rawai' al-Bayan merupakan kitab tafsir
yang baik, karena menggunakan sistematika dan metode tafsir yang modern yang
dipadukan dengan penafsiran para ulama salaf. Kelebihan lain dari tafsir Rawai'
al-Bayan ialah sistematika yang digunakan tersusun rapi dengan menyusun per
tema.
Kewajiban puasa ini
terbatas pada waktu dan hari-hari
tertentu saja, dan tidak selamanya, yaitu dalam bulan Ramadhan saja. Bahkan
bila orang yang berpuasa itu dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan,
orang tersebut diperbolehkan untuk berbuka dan tidak berpuasa, asalkan dia
menggantinya di bulan-bulan yang lain sejumlah hari puasa yang di
tinggalkannya. Hal ini merupakan sebagian dari rahmat dan kemurahan Allah Swt
bagi hamba-Nya.
Daftar Pustaka
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1995
Hussain, Muhammad ad-Dzahabi dalam At-Tafsir wal Mufassirun, Cairo
: Maktabah Wahabah, 2003
ash-Shabuni, Muhammad Ali, Rawai' al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam
min al-Qur'an, Jilid 1, Beirut: Dar al-Kutub, 1420 H/1999 M
Syarjaya,E.
Syibli, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2008.
[1] Hussain,
Muhammad ad-Dzahabi dalam At-Tafsir wal Mufassirun, Cairo : Maktabah Wahabah,
2003, hlm. 507.
[2] ash-Shabuni,
Rawai' al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, Jilid 1, Beirut: Dar
al-Kutub, 1420 H/1999 M, hlm 11.
[4]E. Syibli Syarjaya, Tafsir
Ayat-ayat Ahkam, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta, 2008, hlm. 149.
[5]Muhammad Ali Ash-Shobuni..... hlm.
178.